LONDON – Perdana Menteri Inggris Raya, Theresa May, mendapatkan posisinya yang sekarang berkat kemenangan kubu Brexit (Britain Exit) pada Juni 2016. Namun belum genap satu semester menggantikan David Cameron, perempuan politikus itu sudah terancam dimakzulkan.
Rakyat melihat, Brexit justru semakin mengacaukan kondisi dalam negeri alih-alih menjadi penyelesaian masalah seperti yang digembar-gemborkan. Pengadilan Tinggi pun memutuskan, May tidak berhak menggunakan hak prerogatifnya dalam memutuskan perkara Brexit tanpa melibatkan parlemen dan jajarannya.
Keputusan tersebut alhasil meningkatkan pesimisme di kalangan masyarakat. Rakyat bertanya-tanya, masih bisakah May menegosiasikan pasal 50 Uni Eropa itu pada Maret 2017 dan membuat Inggris Raya sepenuhnya terbebas dari Uni Eropa pada musim semi 2019 jika parlemen tidak meloloskan keinginannya? Demikian seperti disitat dari Independent, Jumat (4/11/2016).
Sejatinya, protes itu telah berdatangan sejak pertama kali hasil referendum Uni Eropa diumumkan. Kebanyakan rakyat tidak menyangka mereka akan benar-benar keluar dari organisasi kerjasama Benua Biru tersebut.
Kekhawatiran yang disuarakan Cameron dan pemerintah Amerika Serikat sebelum Brexit pun terbukti. Perekonomian Inggris merosot tajam dan pekerjaan semakin sulit didapat.