Padahal, kalau jurnalis asing mau melakukan peliputan di kawasan lain di Indonesia, di luar Pulau Papua, mereka diberi kebebasan. Perbedaan perlakuan ini tak pelak membuat AJI bertanya-tanya, “Sebenarnya status di Papua itu apa?”
“Kalau memang statusnya darurat militer seperti di Aceh dulu, kami paham kalau jurnalis tidak boleh melakukan peliputan. Tapi Papua kan tidak begitu statusnya,” buka Suwarjono.
Ada clearing house, yaitu komite lintas bidang dari 18 unit kerja yang dibuat oleh 12 kementerian. Termasuk di dalamnya ada perwakilan dari lembaga dan kementerian, seperti Polri, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Begitulah, jika ada wartawan yang ingin pergi ke Papua, mereka harus lebih dulu memberikan penjelasan yang sangat rinci. Mau ambil isu apa saja, ke mana, menemui siapa dan sebagainya. Untuk wartawan asing, persyaratannya lebih rumit lagi.
AJI mengutip pemberitaan Tabloidjubi.com yang menulis, jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua. Meski memiliki visa peliputan, di Papua Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya. Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua.