NEGARA tetangga Korea Utara, seperti Korea Selatan dan Jepang, sudah hafal betul ‘kegemaran’ sang pemimpin, Kim Jong-un, akan peluru kendali (rudal). Dalam setahun, Jong-un bisa belasan kali meluncurkan rudal buatan negerinya; sekadar untuk unjuk kekuatan dan pamer aset. Tidak hanya mengancam akan meluncurkan rudal ke Guam, AS, belakangan, Jong-un menginisiasi peluncuran rudal ke perairan Jepang hingga menghebohkan seantero dunia.
Bagi Pyongyang, rentetan rudal yang terus mereka luncurkan menjadi simbol untuk menunjukkan kekuasaannya. Terutama kepada Korea Selatan, yang memang menjadi “musuh bebuyutan” Korea Utara sejak dahulu. Menguasai Korea Selatan merupakan tujuan utama dari peluncuran rudal itu. Namun karena mengusik kehidupan masyarakat dunia, berbagai negara pun turun tangan untuk menghentikan peluncuran rudal Korea Utara.
Ancaman Rudal Antarbenua yang Jadi Nyata
Menuai banyak kecaman, nyatanya Kim Jong-un tak kunjung berhenti meluncurkan rudal. Putra bungsu Kim Jong-il itu malah makin gencar mengembangkan dan meluncurkan rudalnya. Sebagaimana dilansir Aljazeera, Senin (4/9/2017), sejak memegang kekuasan pada Desember 2011, Korea Utara terus mempercepat program pengembangan rudal. Meski sempat meraih kegagalan pada 2016, program rudal yang dikembangkan pemimpin lulusan Kim Il Sung Military Academy itu terus mengalami kemajuan.
BACA JUGA: Jika Klaim Pyongyang Benar, Rudal Korut Akan Mampu Hantam Wilayah AS
Tak hanya misil jarak dekat, kini negara serba-tertutup itu juga giat mengembangkan rudal balistik antarbenua. Intercontinental ballistic missile (ICBM) yang dimiliki anak pasangan Kim Jong-il dan Ko Young-hee itu digadang-gadang memiliki daya cakup yang sangat luas dan kecepatan yang tak biasa. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh pakar dari Jepang dan Korea Selatan, sebagaimana dilansir The Guardian, Senin (4/9/2017), rudal tersebut mencapai ketinggian 1.741 mil (2.802 km) dan terbang sejauh 580 mil (933,22 km).
Awalnya, AS menduga rudal tersebut hanyalah rudal jarak menengah. Pasalnya, untuk disebut sebagai ICBM, sebuah rudal harus memiliki jarak minimum 3.400 mil (5.500 km). Namun, tak lama kemudian, Negeri Paman Sam mengakui bahwa rudal itu memiliki daya jangkau antarbenua dan bisa disebut sebagai ICBM.
Rajin Menguji Coba Rudal Antarbenua
Rudal balistik antarbenua pertama Korea Utara diuji coba pada 4 Juli 2017. Saat itu, Korut mengklaim daya jangkau rudalnya dapat mencapai daratan AS. Setelah itu, uji coba terus kembali dilakukan untuk mengetahui kekuatan rudalnya. Sepanjang 2017, sebagaimana dilansir ABC News, ayah dari Ju Ae itu tercatat telah 13 kali meluncurkan rudal.
Rudal yang diluncurkan Korut terus menunjukkan adanya perkembangan. Rudal KN-15 yang ditembakkan pada 11 Februari memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Rudal berbasis darat yang ditembakkan ke laut Jepang itu dapat menempuh jarak hingga 310 mil. Peluncuran ini menjadi tonggak awal kemajuan pesat misil Korut karena untuk pertama kalinya mereka membuat rudal berbahan bakar padat yang diluncurkan secara mobile. Dengan peluncuran semacam ini, KN-15 sulit dilacak dalam waktu singkat.
Kim Jong-un memantau langsung peluncuran rudal yang dilakukan di Semenanjung Korea. (Foto: The Telegraph)
Sebulan kemudian, Korut kembali meluncurkan lima rudal jarak menengah Scud-er (extended range). Perairan Jepang kembali menjadi target dari uji coba rudal yang dilakukan pada 5 Maret itu. Dari peluncuran ini, tiga rudal mendarat di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Jepang yang membentang 200 mil dari garis pantai. Jangkauan rudal yang ditembakkan ini pun meningkat. Empat rudal yang diluncurkan berhasil menempuh jarak lebih dari 600 mil, sedangkan satu rudal lainnya terjatuh tak lama setelah diluncurkan.
BACA JUGA: Jelang Tengah Malam, Korut Luncurkan Rudal Balistik ke ZEE Jepang
Uji coba kali ini telah membuat AS geram. Mereka pun berencana menebar sistem pertahanan antirudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) meski krisis politik tengah terjadi di Korsel saat itu.
Pada 4 April, rudal KN-17 ditembakkan Korut beberapa hari sebelum Presiden China, Xi Jinping, bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Florida, untuk membahas cara mengekang tindakan pengembangan rudal dan nuklir Korut. Rudal yang diluncurkan saat itu terbilang baru karena KN-17 menggunakan bahan bakar cair.
Terbaru, Korut meluncurkan rudalnya ke perairan Hokkaido, Jepang, pada Selasa 29 Agustus 2017. Beruntung, J-Alert milik Jepang berbunyi. Rudal pun berhasil ditembak hingga terbelah menjadi tiga bagian.
Lima hari kemudian, tepatnya pada Minggu 3 September, Korut terdeteksi kembali melakukan uji coba peluncuran rudal. Kali ini, peluncuran diketahui berdasarkan getaran seismik tak wajar yang terdeteksi badan pemantau gempa bumi dunia, seperti Indonesia (BMKG), Amerika Serikat (USGS), Jerman (GFZ), dan Eropa (EMSC). Uji coba kali ini bahkan menyebabkan terjadinya gempa berkekuatan 6,3 SR.
Dunia Gerah, Korea Utara Terima Kecaman Bertubi-tubi
Peluncuran rudal yang terus-menerus dilakukan Kim Jong-un menuai kecaman dari berbagai negara. Pemerintah Inggris, sebagaimana dikutip dari Reuters, pernah memanggil Duta Besar (Dubes) Korut untuk menyampaikan kecaman terhadap aksi mereka yang dinilai memprovokasi melalui peluncuran rudal. Melalui kementerian luar negerinya, Inggris pun mendesak Korut menghentikan pengembangan senjata nuklir dan rudal balistik.
Tak hanya Inggris, Jepang yang beberapa kali menjadi sasaran rudal Korut juga mengecam aksi ini. Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe mengutuk tembakan rudal Korea Utara (Korut). Menurut Abe, Korut telah melakukan tindakan sembrono yang menjadi ancaman serius bagi negaranya.
BACA JUGA: Kutuk Peluncuran Rudal, Inggris Panggil Dubes Korea Utara
AS bahkan berkali-kali mengecam tindakan Korut. Menurut Presiden Donald Trump, berdialog dengan Korea Utara bukanlah jalan keluar yang tepat. Kepala Pertahanan AS, James Mattis, sebagaimana dikutip dari BBC, pun memperingatkan bahwa tindakan yang dilakukan Korut akan memicu adanya tanggapan militer dalam skala besar.
Untuk mencari cara guna menghentikan tindakan Korut, Trump hingga melakukan pembicaraan via telefon dengan Perdana Menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe. Dalam pembicaraan selama 40 menit itu, Trump dan Abe sepakat meningkatkan tekanan kepada Pyongyang. Selain itu, mereka akan meminta Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan darurat guna membahas peluncuran rudal yang dilakukan Korut.
Presiden Donald Trump bertemu Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, di Gedung Putih. (Foto: Jim Lo Scalzo/EPA)
Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat berada 100% di belakang Jepang. Ia juga menekankan komitmen kuat negaranya untuk membela Jepang. Hal ini disampaikan Abe kepada wartawan di Tokyo usai berbincang melalui telefon dengan Trump.
Indonesia juga tak tinggal diam melihat aksi peluncuran rudal yang dilakukan Korut. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri pun mengecam tindakan tersebut. Pasalnya, uji coba itu telah bertentangan dengan kewajiban Korea Utara terhadap resolusi DK Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait. Negara tersebut telah menentang DK PBB resolusi 2270 (2016), 2321 (2016), 2356 (2017), dan 2371 (2017).
Menyikapi pelanggaran yang dilakukan Korut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, mengecam peluncuran peluru kendali Korea Utara. Pasalnya, menurut Guterres, tindakan Korut telah merusak keamanan regional dan stabilitas. Ia meminta Pyongyang mematuhi kewajiban internasional dan kembali membuka komunikasi.
“Peluncuran tersebut merusak keamanan regional dan stabilitas dan upaya untuk menciptakan ruang untuk dialog," kata juru bicara Guterres dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilansir Reuters.
Tak Jera Meski Dihukum PBB
Telah melanggar hukum, PBB pun diminta melakukan tindakan kepada Korut. PBB lalu menjatuhkan peringatan dan hukuman kepada negara tersebut. PBB bahkan telah menambahkan nama Korea Utara ke daftar hitam serta memberlakukan larangan bepergian global dan pembekuan aset terhadap Korut. Namun, Kim Jong-un malah menolak sanksi-sanksi tersebut.
Setelah pemberian sanksi itu, Kim Jong-un tetap melakukan berbagai perkembangan terhadap rudalnya. Korea Utara bahkan mengancam akan membalas dendam ribuan kali lebih kejam kepada Amerika Serikat karena menjadi negara pertama di PBB yang mengajukan sanksi baru yang lebih keras kepada Pyongyang. Kim Jong-un menyatakan ancaman itu dua hari setelah PBB mengumumkan sanksi terbarunya untuk Korea Selatan.
Seakan merespons ancaman si tetangga, Korea Selatan tak mau kalah memamerkan teknologi rudal mereka. Pada Senin (4/9/2017), Korsel melakukan latihan peluncuran rudal di lepas pantai timur ke wilayah Punggye-ri, Kabupaten Kilju, Korea Utara. Latihan ini digelar karena Kementerian Pertahanan Korsel mengaku telah mendeteksi tanda-tanda bahwa Pyongyang berencana melakukan peluncuran rudal balistik dalam jumlah yang lebih banyak.
BACA JUGA: Respons Peluncuran Rudal Korut, Militer AS dan Korsel Gelar Latihan Gabungan
Korsel pun menyatakan akan menggelar latihan militer tambahan bersama Amerika Serikat. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan terhadap uji bom hidrogen Korut. Kepala Pentagon, James Norman Mattis, mengatakan Korut akan mendapat serangan militer besar-besaran dari AS jika masih nekat mengancam Washington dan para sekutunya.
Tak hanya serangan militer, sebagai respons peluncuran rudal yang terus dilancarkan Korut, Kementerian Pertahanan Korsel mengumumkan bahwa pasukan gabungan AS dan Korsel (USFK) akan kembali memasang empat sistem pertahanan antirudal baru atau THAAD. Keputusan Korsel ini menjadi babak baru ketegangan di Semenanjung Korea yang terlihat masih jauh dari kata usai. (DJI)