Mantan KSAU Ogah Datangi Panggilan Danpom TNI, Ini Tanggapan Kuasa Hukumnya

Achmad Fardiansyah , Jurnalis
Kamis 23 November 2017 13:16 WIB
Foto: Ist
Share :

JAKARTA - Kasus korupsi pengadaan Helikopter AugustaWestland (AW-101) ditubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih terus bergulir. Kasus itu pun menyeret nama mantan KSAU Marsekal (Purn) TNI Agus Supriatna. Agus disebut-sebut tidak pernah memenuhi panggilan Danpom TNI.

Menanggapi hal itu, salah satu kuasa hukum Agus Supriatna, Teguh Samudera membantah jika kliennya tidak mau datang memenuhi panggilan Danpom TNI untuk dimintai keterangannya sebagai saksi terkait kasus tersebut.

"Klien kami belum memenuhi panggilan karena surat panggilan tersebut tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer. Kami sudah menyampaikan surat tanggapan atau jawaban atas panggilan tersebut," tegasnya di Jakarta, Kamis (23/11/2017).

‎Ia pun menjelaskan, ada dua surat panggilan yang dilayangkan kepada Agus, pertama sebagai saksi untuk tersangka Letkol Adm Wisnu Wicaksono sesuai Nomor: PGL-145/VIII/2017 tanggal 4 Agustus 2017. Kemudian, surat panggilan kedua Nomor: PGL-151/VIII/2017 tanggal 10 Agustus 2017 dan telah diberikan jawaban dan/atau tanggapan berdasarkan surat tim kuasa hukum Nomor: 001/Iit/ULO/VIII/2017 tanggal 14 Agustus 2017 yang telah diterima oleh POM TNI.

Menurutnya, surat panggilan tersebut bukanlah surat korespondensi biasa, tapi merupakan tindakan negara dalam kekuasaan yudikatif yang masuk dalam administrasi pro justisia‎. Maka, yang berwenang memanggil saksi dalam perkara A-quo adalah penyidik sesuai UU Nomor 31/2017.

"Dasar tindakan negara dalam melaksanakan azas presumption of quilty (azas patut diduga bersalah) yaitu adanya kebijakan berupa surat perintah penyidikan (Sprindik) kepada penyidik, maka dalam surat panggilan harus dicantumkan Sprindik tersebut. Faktanya, surat panggilan A-quo tidak ada dicantumkan Sprindik," tuturnya.

Di samping itu, Teguh menyebut surat panggilan tersebut tidak menjelaskan dugaan pasal dan UU mana yang disangkakan kepada tersangka Letkol Wisnu, baik dugaan insubordinasi maupun tindak pidana korupsi sehingga membingungkan apa pokok rumusan pidana yang sedang disidik.

"Karena rumusan delik ditentukan dalam kalimat yang rinci dan telah tercantum dalam Undang-undang," jelas dia.

Kemudian, kata dia, berdasarkan Pasal 103 Ayat (4) UU Peradilan Militer disebutkan bahwa panggilan kepada tersangka atau saksi prajurit melalui komandan/kepala kesatuan yang secara teknis dilaksanakan dengan penerbitan Sprin (surat perintah) dari Ankum.

Selain itu, dalam hukum formil ditentukan juga bila mana patut diduga terjadi suatu peristiwa pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan Militer. Maka, sesuai Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 UU Nomor 31/2017, Pasal 16 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Intinya, sebelum melaksanakan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga dilakukan oleh seseorang yang tunduk pada peradilan militer dan seorang lainnya tunduk pada peradilan umum. Maka, arus terlebih dahulu dibentuk Tim Peradilan Koneksitas yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.

"Menurut hemat kami, penegakan hukum yang dilaksanakan oleh POM TNI dihubungkan dengan penetapan tersangka sipil oleh KPK dalam suatu perkara yang sama adalah prematur, bahkan melanggar ketentuan hukum diatas," pungkasnya.

Perlu diketahui sebelumnya, ‎dugaan korupsi pembelian Heli AW101 terbongkar lewat kerja sama antara TNI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, sudah ada enam tersangka yang ditetapkan terkait kasus ini yakni lima dari unsur militer dan satu merupakan unsur sipil yang adalah pengusaha.

KPK dalam kasus ini telah menetapkan Presiden Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka dari pihak swasta terkait kasus pengadaan Heli AW-101. Irfan diduga sebagai pengatur pemenangan proyek pengadaan Heli AW-101.

Sementara itu, Puspom TNI menetapkan empat anggota TNI ‎sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Heli AW-101, tahun anggaran 2016-2017. Empat tersangka tersebut yakni, Marsekal Pertama TNI, FA, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Kemudian, Letnan Kolonel, WW, selaku pemegang kas; Pembantu Letnan Dua, SS; serta, Kolonel Kal, FTS, selaku Kepala Unit pada TNI AU. Atas perbuatan mereka, negara dirugikan sebesar Rp224 miliar.

(Awaludin)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya