JAKARTA - Kuasa hukum Setya Novanto (Setnov), Maqdir Ismail minta kliennya dibebaskan dari tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika nota keberatan atau eksepsinya diterima oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
"Jika diterima, persidangan harus berhenti dan Pak Setya Novanto harus dikeluarkan dari tahanan, serta berkas perkaranya dikembalikan kepada Jaksa dan Jaksa diberi kesempatan untuk memperbaiki dakwaan," kata Maqdir saat dikonfirmasi Okezone, Rabu (27/12/2017).
Proses persidangan terkait perkara dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP untuk terdakwa Setya Novanto sendiri saat ini akan memasuki agenda jawaban dari pihak KPK. Sidang tersebut akan digelar esok hari, Kamis, 28 Desember 2017, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Jawaban KPK tersebut untuk menanggapi keberatan atau eksepsi dari pihak Setnov. Sidang selanjutnya, akan digelar pada pekan depan dengan agenda putusan sela oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
(Baca juga: KPK: Semua Hal yang Jadi Keberatan Setya Novanto Akan Kita Jawab Besok)
Nantinya, Hakim akan memutuskan apakah akan menerima atau menolak eksepsi Setnov lewat putusan sela. Kata Maqdir, jika dalam putusan sela tersebut Hakim menerima eksepsi kliennya, maka Jaksa wajib memperbaiki dakwaan terhadap Setnov.
"(Jika putusan sela menerima eksepsi Setnov) sidang akan dilanjutkan setelah dakwaan diperbaiki dan perkara dilimpahkan kembali oleh Jaksa kepada Pengadilan," ujar Maqdir.
Pada persidangan sebelumnya, pihak Setnov sempat mengajukan keberatannya atas dakwaan yang dilayangkan Jaksa KPK. Dalam keberatannya, kubu Setnov membeberkan kejanggalan KPK dalam menyusun dakwaan.
Salah satu kejanggalan yang dibeberkan anggota tim kuasa hukum Setya Novanto yakni terkait adanya perbedaan lokus atau tempat serta waktu kejadian dalam memuluskan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, ada tiga perbedaan waktu pertemuan dalam tiga dakwaan perkara korupsi e-KTP.
"Tempus delicti (waktu kejadian) terdakwa Irman dan Sugiharto, antara November 2009 - Mei 2015, di dalam dakwaan Andi Narogong November 2009-Mei 2009, sedangkan di tempus delicti dakwaan Setya Novanto November 2009-Desember 2013," kata anggota Kuasa Hukum Setnov, Firman Wijaya saat membacakan eksepsi kliennya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Desember 2017.
(Baca juga: Tak Ada Persiapan, Kubu Setnov Cukup Duduk Manis Dengarkan Jawaban KPK di Persidangan)
Tidak hanya itu, Firman juga berpandangan terdapat perbedaan tempat kejadian (locus delicti) dalam tiga dakwaan perkara korupsi e-KTP. Menurut Firman, dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, kejadian bertempat di Ruko Graha Mas Fatmawati, Kantor Ditjen Dukcapil Kemendagri, dan Hotel Sultan.
Kemudian, dalam dakwaan Andi Narogong, kejadian berlokasi di Gedung DPR RI, Hotel Gran Melia, dan Ruko Graha Mas Fatmawati. Sedangkan dalam dakwaan Setya Novanto, kata Firman, terjadi di Gedung DPR RI, Hotel Gran Melia, Graha Mas Fatmawati, Equity Tower, dan Jalan Wijaya Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Berdasarkan uraian waktu dan tempat dapat disimpulkan surat dakwaan disusun tidak cermat," terangnya.
Tim kuasa hukum juga mengungkapkan adanya perbedaan peran Setya Novanto dalam tiga dakwaan perkara korupsi e-KTP. Hal itu, menurut tim kuasa hukum merupakan suatu kejanggalan yang tidak berkesinambungan antara dakwaan satu dengan dakwan lainnya.
Sebagaimana, dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Setya Novanto disebut berperan sebagai pengarah pemenang perusahaan dalam proyek e-KTP. Sedangkan, dalam dakwaannya, Setya Novanto disebut memiliki peran sebagai pihak yang mengintervensi anggaran serta pengadaan barang dan jasa.
"Hal itu terkait tperbedaan) perannya terdakwa (Setya Novanto)," ujar Firman.
Oleh karenanya, Firman berpandangan tiga dakwaan yang disusun oleh Jaksa KPK dilakukan secara tidak cermat. Dengan demikian, tim kuasa hukum Setya Novanto meminta Hakim membatalkan dakwaan terhadap kliennya.
"Berdasarkan waktu dan tempat dalam tiga surat dakwaan itu disusun secara tidak cermat sehingga surat dakwaan tersebut tidak sesuai peraturan dan batal demi hukum," pungkasnya.
Setya Novanto sendiri telah didakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekira Rp2,3 triliun dalam proyek pengadaan e-KTP, tahun anggaran 2011-2013.
Setya Novanto selaku mantan Ketua fraksi Golkar diduga mempunyai pengaruh penting untuk meloloskan anggaran proyek e-KTP yang sedang dibahas dan digodok di Komisi II DPR RI pada tahun anggaran 2011-2012.
Atas perbuatannya, Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
(Awaludin)