JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yassona H. Laoly telah melaporkan pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut dia, Kepala Negara cukup kaget dengan hasil revisi yang telah dilakukan lembaga legeslatif tersebut. Bahkan, ia menilai, Jokowi tak akan menandatangi hasil pengesahan UU MD3 setelah menganalisis hasil dari produk UU yang disahkan para wakil rakyat tersebut.
"Jadi Presiden cukup kaget juga makanya saya jelaskan, masih menganalisis ini, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak mendandatangani," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Yassona mengatakan, dinamika politik yang begitu cepat membuat UU MD3 disahkan dalam waktu yang cukup singkat beberapa waktu lalu. Padahal, kata dia, pemerintah hanya ingin menerima adanya penguatan Pasal 122 yang dapat mempidanakan orang-orang yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR.
(Baca juga: UU MD3 Dinilai Bentuk Kemunduran Demokrasi)
Meski begitu, pengusutan kasus terhadap penghinaan DPR harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai filter dari setiap perdebatan yang ada di publik.
"Kalau saya tidak menerima ini, mungkin tidak akan ada pengesahan UU MD3 pada waktu itu. Jadi dinamika politiknya cepat, saya katakan 'ok lah sebatas contempt of parlement dalam mengerjakan tugasnya'. DPR punya hak imunitas itu yang diturunkan tapi dijaga sedemikian rupa hak imunitas bukan tanpa batas, harus ada batasan," jelas Yassona.
(Baca juga: Pengesahan UU MD3 Tingkatkan Potensi Korupsi Tumbuh Subur di DPR)
Yassona menerangkan, pemerintah sebenarnya banyak tidak menyetujui hasil dari UU MD3 tersebut. Apalagi, Pasal 245 telah menyatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD sebelum dilimpahkan ke Presiden.
"Nah mengapa harus melalui pertimbangan? semoga filternya ada di DPR, apapun pertimbangan DPR supaya beban semua tidak sampai ke Presiden. Presiden sudah ada pertimbangan yaitu MKD tapi tetap Presiden yang buat keputusannya," imbuhnya.
Politisi PDI Perjuangan menegaskan, tidak semua kasus yang melibatkan anggota DPR harus mendapat izin dan pertimbangan Kepala Negara. Sebab, hal itu tidak berlaku bila kasus tersebut tergolong dalam kejahatan luar biasa.
"Untuk yang kejahatan diancam hukuman mati dan seumur hidup seperti pembunuhan dan lain-lain, untuk yang pidana khusus, korupsi, teroris, narkoba, makar itu tidak perlu izin presiden, itu saya ngotot di situ," tandasnya.
(Awaludin)