JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan ratusan siswa sekolah kejuruan menjadi korban eksploitasi dengan modus program magang ke luar negeri. Modus baru ini menawarkan berbagai kemudahan sehingga pihak sekolah dan orangtua tergiur, seperti tidak adanya pelatihan dan penggunaan visa kunjungan.
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti mengatakan bahwa sejak tahun 2009 salah satu perusahaan telah mengirimkan 600 anak dari sejumlah sekolah di Jawa Tengah untuk dipekerjakan di Selangor, Malaysia. Para korban dipaksa bekerja selama 18 jam per hari dan mendapatkan upah yang rendah serta perlakuan yang tidak manusiawi.
"Dari tahun 2009 sampai saat ini korban eksploitasi sudah berjumlah 600 orang. Tetapi kasus yang baru terungkap hanya satu, yang saat ini tengah disidangkan di PN Semarang," kata Retno di Kantor KPAI, Menteng Jakarta Pusat, Selasa (3/4/2018).
Selain itu Retno pun menjelaskan dari data yang dia peroleh dari DP3AKB Jawa Tengah, bahwa di tahun 2018 siswa yang telah menjadi korban eksploitasi sebanyak 138 orang, yang terdiri dari 86 siswa dari NTT dan Jawa Timur serta 52 siswa yang berasal dari SMK Kendal.
"Sampai saat ini pelaku program magang palsu tersebut sudah menjadi terdakwa, yaitu Direktur PT Sofia, Windy yang bekerja sama dengan PT Walet Maxim Birdnest milik Albert Tei di Selangor Malaysia. Untuk yang di NTT belum ada tertuduhnya," ungkapnya.
Dia menilai salah satu faktor terjadinya kasus ini karena pemerintah lalai dalam memberikan penyadaran kepada pihak sekolah sehingga program magang ke luar negeri menjadi kebanggaan dan nilai tambah dari sekolah. Padahal itu merupakan kegiatan eksploitasi.
"Kami berharap pemahaman tentang eksploitasi itu diberikan oleh kemendikbud dan dinas pendidikan kepada sekolah sehingga mereka bisa selektif, siapa yang mengajak. Seharusnya itu ada indikatornya ya," tambahnya.
Retno menegaskan bukan berarti pihak KPAI meminta ditiadakannya magang di luar negeri tetapi kalaupun ada harus ada sebuah sistem yang dibuat sehingga hak perlindungan anak-anak dapat terpenuhi.
"Bukan berarti kami (KPAI) meminta tidak ada magang di luar negeri, tetapi harus ada sebuah sistem yang benar untuk mengirim orang. Misalnya sekolah SMK A yang berprestasi dan ada pelatihan dan persiapannya serta KBRI juga merekomendasi mengawasi dan memantau, jadi kalo ada apa-apa bisa ngadu," pungkasnya.