Mantan Koruptor Dibikin Ribet kalau Mau Nyaleg

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 06 Juli 2018 09:43 WIB
ilustrasi
Share :

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan peraturan yang menolak mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Namun, DPR RI rupanya tetap berkeras agar setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk mendaftar sebagai caleg pada pemilu 2019.

Dalam rapat konsultasi berlangsung di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta disepakati, semua orang tak terkecuali mantan koruptor diberikan kesempatan untuk mendaftar melalui partai politiknya masing-masing. Di dalam rapat tersebut, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan semua orang punya kesempatan untuk dipilih dan memilih.

"Rapat menghargai apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah mengesahkan PKPU. Namun demikian, kita tetap menghargai hak asasi warga negara untuk dipilih dan memilih sesuai dengan konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945. Maka kami sepakat memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mendaftar menjadi calon legislatif di semua tingkatan melalui partai politiknya masing-masing," papar Bambang Soesatyo.

Sikap ketua DPR itu mengemuka tiga hari setelah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo

(Baca Juga: Hasil Rapat Gabungan soal PKPU di DPR: Mantan Koruptor Boleh Nyaleg)

Untuk diketahui, pada Pasal 7 PKPU huruf h disebutkan, bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

Menanggapi pernyataan Ketua DPR tersebut, Arief Budiman selaku Ketua KPU mempersilakan semua orang mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif. Namun, dia mewanti-wanti, partai politik harus paham konsekuensinya mengingat KPU punya sistem yang bisa mendeteksi mantan terpidana korupsi.

"Di dalam Peraturan KPU, pendaftarannya memang bisa diterima. Semua bisa diterima. Tapi ketika sampai tahap verifikasi, kita punya sistem. Jadi mestinya partai politik sudah akan tahu 'wah ini percuma kalau didaftarkan, nanti pada saat diverifikasi pasti (berkas-berkasnya) akan dikembalikan'," papar Arief.

Ketua KPU RI Arief Budiman

Kalaupun ada parpol yang tetap bersikukuh mengajukan bakal calon anggota legislatif yang pernah menjadi napi kasus korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual anak, Arief memberi jalan keluar.

"Kalau dia ditolak, parpol punya dua tindakan yang bisa diambil. Yang pertama, mengganti. Atau yang kedua, dia tidak mengganti tapi mengajukan sengketa. Tergantung putusan sengketa nanti. Kalau tetap dinyatakan ditolak, kita akan tolak. Kalau dinyatakan diterima, ya diterima," jelasnya.

Hal ini disuarakan juga oleh Ketua DPR, Bambang Soesatyo. Menurutnya, sembari menunggu proses verifikasi pendaftaran caleg oleh KPU, pihak-pihak yang tak setuju dengan pencalonan PKPU dipersilakan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung.

Jika gugatan diterima, maka KPU wajib meloloskan calon peserta sebagai caleg. Sedangkan, KPU dapat mencoret nama caleg terpidana kasus korupsi dan mengembalikan berkas ke parpol masing masing apabila gugatan uji materi ditolak.

Sikap Ketua DPR yang mempersilakan semua orang mencalonkan diri dalam Pemilu 2019 dan keberadaan Peraturan KPU mengundang beragam respons dari partai politik.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono, mengatakan pihaknya "harus menghormati KPU yang membuat peraturan". Ditanya apakah Gerindra akan mengusung mantan napi kasus korupsi sebagai caleg, Ferry tegas menyatakan, "Tidak".

Namun, dia melanjutkan, "yang banyak PDIP dan Golkar. Coba tanya ke PDIP dan Golkar yang banyak narapidana korupsinya,".

Dari Partai Golkar, politikus senior Firman Soebagyo mengatakan pihaknya akan bersikap selektif pada calon anggota legislatif yang diusung.

"Sejak dulu Golkar kan sangat selektif masalah caleg ini. Mereka yang terindikasi kasus korupsi tidak dicalonkan. Aturan sudah diundangkan harus kita taati," cetusnya.

Hanya saja, lanjutnya, PKPU akan menjadi catatan sejarah bahwa ada sesuatu yang salah mengingat peraturan itu bertentangan dengan UU Pemilu Pasal 240 ayat 1 huruf g.

Dalam pasal tersebut, dinyatakan, seorang caleg yang berstatus mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.

"Biar masyarakat tahu bahwa ini ada sesuatu yang salah. Menabrak undang-undang tapi tetap dijalankan," kata Firman.

Tetapi, publik tidak bisa berharap pada janji partai politik, hal tersebut disampaikan Titi Anggraini selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Dia memperkirakan akan ada calon anggota legislatif bermasalah yang diusung parpol menjelang pemilu 2019.

"2019 ini akan kurang lebih ada 20.000 kursi yang diperebutkan mulai dari DPR RI sampai DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Bisa saja, akan ada sempalan-sempalan partai tetap akan mengusung caleg-caleg bermasalah, maju," kata Titi.

Oleh karena itu, Titi Anggraini mengingatkan agar KPU ekstra waspada. "KPU betul-betul harus mencermati agar tidak sampai ada caleg yang lolos yang tidak memenuhi persyaratan," ujarnya.

Veri Junaedi, selaku pemantau pemilu dari lembaga Konstitusi dan demokrasi (KoDe) Inisiatif, mengatakan hal senada. Menurutnya, bercermin dari pilkada dan pemilihan legislatif masa lalu, bakal caleg yang pernah menjadi napi kasus korupsi akan bermunculan pada Pemilu 2019.

KPU membuka pendaftaran calon anggota legislatif pada tanggal 4 hingga 17 Juli mendatang dan masih ditunggu apakah ada mantan koruptor yang tetap nekad mencalonkan diri.

(Angkasa Yudhistira)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya