WONOGIRI - Kahyangan, nama itu tak lagi asing bagi warga Solo Raya. Terutama bagi warga yang tengah laku spiritual. Pasalnya, lokasi yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri ini, tepatnya di Desa Dlepih Kecamatan Tirotomoyo atau berjarak 50 KM dari pusat kota Wonogiri, tak lepas dari kisah Danang Sutowijaya (kelak bergelar Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram) bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yang kala itu sedang berupaya mencari wahyu raja yang saat itu masih berada di berada di tangan sang ayah bernama Ki Ageng Pemanahan.
Untuk menuju ke Kahyangan, sebenarnya tidaklah sulit. Sebab, akses jalan menuju lokasi sangatlah mulus. Terik matahari begitu menyengat saat Okezone tiba di Desa Dlepih. Khayangan sendiri terletak di kawasan pegunungan Tirtomoyo yang dikelilingi hutan hijau, lembah jurang yang sangat curam serta air terjun alami yang mengalir di sela babatuan pegunungan. Sehingga, untuk menuju kelokasi itu, harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Setelah bertanya pada warga sekitar, Okezone pun ditunjukan lokasi yang dituju. Hanya saja, sebelum melangkahkan kaki, salah satu warga bertanya pada okezone. "Mas, boten mbeto klambi hijau kan (mas, tidak membawa baju warna hijaukan)," tanya warga Dlepih yang mengaku bernama Sarif.
Mendengar pertanyaan itu Okezone pun balik bertanya, "Memangnya kenapa pak kalau bawa baju warna hijau?"
"Itu pantangannya mas. Kalau mau kesana tidak boleh pakai warna hijau. Biarpun pakaian itu ditaruh di dalam tas. Kalau dilanggar, kamu sendiri yang celaka," jawab Sarif.
"Oh begitu ya pak, saya tidak bawa baju warna hijau," jelas Okezone sambil membuka tas punggung yang okezone kenakan.
Setelah melihat isi tas, warga itupun mempersilahkan untuk meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Nama Kahyangan tak lepas dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Kala itu, Panembahan Senopati yang masih bernama Danang Sutowijoto berhasil membunuh Haryo penangsang.
Atas jasanya menang melawan Haryo Panangsang, akhirnya Danang Sutowijoyo mendapatkan hadiah dari Sultan Pajang kala itu yakni Sultan Hadiwijaya berupa tanah perdikan di Mentaok (Kotagede).
Saat itu Ki Ageng Pemanahan (ayah Panembahan Senopati) kala itu menjabat sebagai penguasa di tanah Mentaok masih dibawah kekuasaaan Sultan Pajang, yakni Hadiwijaya. Meski begitu Danang Sutowijoyo tetap bersikukuh menuju hutan Kahyangan menjalani laku bertapa mencari kebenaran wahyu keprabon. Hingga dalam perjalanannya,sampailah di sebuah desa terpecil (Dlepih) arah Selatan Wonogiri.
Di lokasi inilah, masyarakat sekitar mempercayai bila Panembahan Senopati, sebelum mendirikan tahta dinasti Mataram Islam di tanah Jawa, bertemu dengan penguasa Laut Kidul, Kanjeng Ratu Kidul. Dilokasi yang kini diberi nama Kahyangan itulah, Panembahan Senopati akhirnya mendapatkan wahyu keprabon untuk mendirikan kerajaan Mataram Islam di tlatah (tanah) Jawa.
Selain itu, saat Danang Sutowijoyo bertemu dengan penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul itulah terjadi 'perjanjian gaib' antara keduanya. Dimana dalam perjanjian gaib itu ditegaskan semua raja Mataram di tanah Jawa, harus menjadi suami Kanjeng Ratu Kidul.
Mitos tersebut hingga saat ini masih dipercaya khususnya oleh masyarakat di Jawa. Disakralkan, tempat ini kerap dimanfaatkan orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon juga Jumat Kliwon. Terlebih di malam menjelang pergantian tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah, terutama dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, bertirakatan di sana. Termasuk menjelang pencalegan inipun banyak warga masyarakat yang ingin duduk di kursi Wakil Rakyat pun berbondong-bondong datang ke lokasi tersebut.