JAKARTA - Indonesia adalah negeri yang sangat beragam dengan masyarakat hidup dalam harmoni. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di World Economic Forum on ASEAN di Hanoi, Vietnam, Rabu 12 September 2018.
Dalam diskusi bertema “ASEAN Pluralism: Under Threat?” itu, Grace menyatakan, pada tahun lalu, Indonesia menyaksikan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dipenjara karena delik penodaan agama.
Ketum PSI Grace Natalie sebuah diskusi di World Economic Forum on ASEAN di Hanoi (Foto: PSI)
“Apa yang terjadi? Apakah toleransi hilang di masyarakat Indonesia? Apakah ada pergeseran di masyarakat?” kata Grace dalam keterangannya yang diterima Okezone, Kamis (13/9/2018).
Mantan presenter TV berita itu kemudian mengutip survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Salah satu pertanyaan ke para responden: kelompok mana yang paling tidak mereka sukai.
Dari survei tersebut diketahui, tiga jawaban terbanyak adalah LGBT, ISIS, dan komunis. Ketidaksukaan pada kaum Tionghoa dan Kristen sangat rendah. Survei yang dilakukan pada akhir 2016 konsisten selama 15 tahun terakhir.
“Berdasarkan survei tersebut, mereka yang tidak suka pada etnis Tionghoa hanya 0,8 persen,” ujar Grace.
Dalam pandangan Grace, hal yang terjadi pada Ahok tidak terkait dengan kebencian etnis. Yang terjadi adalah rekayasa untuk kepentingan politik.
“Setelah Ahok divonis dua tahun, pihak Polri membongkar sindikat yang memproduksi dan menyebarluaskan hoax. Sindikat ini aktif bekerja selama Pilkada DKI Jakarta 2017,” kata Grace.
Di sini, kata Grace, seluruh orang menyaksikan eksploitasi isu keagamaan dan etnisitas untuk kepentingan politik tertentu. Jelas ada ancaman pada toleransi dan keberagaman di ASEAN. Cara untuk menangkalnya adalah membangun kekuatan politik atau menyokong kaum moderat.
Grace juga mencontohkan dengan kasus Meilana di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Ia hanya mengeluhkan pengeras suara dari azan di masjid. Tapi kemudian, ia dijerat dengan pasal penistaan agama. Hakim jelas dalam tekanan massa.
“Kita lihat, tak ada partai politik, termasuk partai berhaluan nasionalis, berbicara dan membela Meilana,” kata Grace.
PSI, sambungnya, satu-satunya yang bergerak untuk membela Meiliana. Sejumlah kadernya mengunjungi Meiliana di penjara. PSI juga berkomitmen untuk mendampingi Meiliana di tingkat banding dengan menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan.
“Inilah cara kami melewan intoleransi. Dan, kami harus melakukannnya dengan sistematis. Jika tidak, pluralisme akan terus terancam dan merosot,” ujar Grace.
Ada contoh lain dari meningkatnya intoleransi. Di salah satu daerah di Aceh, pria dan wanita yang bukan muhrim, dilarang untuk minum kopi dalam satu meja yang sama. “Kita harus berbuat sesuatu. Kami melakukannya di jalur politik,” pungkas Grace.
Dalam forum kecil itu, selain Grace, sejumlah tokoh juga menjadi pembicara. Salah satunya, eksekutif puncak Lippo Group, John Ryadi.
(Angkasa Yudhistira)