JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim untuk diperiksa terkait pengembangan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, surat panggilan pemeriksaan terhadap pasangan suami-istri tersebut telah diserahkan ke kediamannya di Singapura dan ke kantor Gadjah Tunggal di Jakarta. Keduanya diagendakan pemeriksaannya pada hari ini dan besok.
"Surat (panggilan) sudah disampaikan ke kediaman dan kantor di Singapura dan di Indonesia. Untuk surat di Indonesia, disampaikan ke kantor Gadjah Tunggal di Hayam Wuruk," kata Febri melalui pesan singkatnya, Senin (22/10/2018).
(Baca juga: KPK Buka Peluang Periksa Sjamsul dan Istrinya di KBRI Singapura)
Menurut Febri, KPK telah berkoordinasi dengan otoritas di Singapura untuk menyampaikan surat panggilan disananya. Sementara di Jakarta, KPK telah menyerahkan surat panggilan ke kantor Gajah Tunggal. Sjamsul sendiri merupakan pemilik serta pendiri PT Gajah Tunggal Tbk.
"Kami sampaikan sekali lagi, permintaan keterangan ini sekaligus memberi ruang bagi yang bersangkutan untuk menyampaikan klarifikasi atau sejenisnya. Dengan demikian, ini merupakan jadwal kedua di penyelidikan yang telah kami buka untuk Sjamsul Nursalim dan isterinya," pungkas Febri.
KPK sebenarnya sudah beberapa kali mengagendakan pemeriksaan Sjamsul dan Itjih pada proses penyidikan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Namun, keduanya selalu mangkir dalam panggilan pemeriksaan itu.
(Baca juga: KPK Tunggu Itikad Baik Sjamsul Nursalim untuk Diperiksa Terkait Pengembangan Kasus BLBI)
KPK menegaskan bahwa dugaan korupsi BLBI tak berhenti sampai di putusan Syafruddin Arsyad Temenggung yang telah divonis pidana 13 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. KPK terus mengembangkan kasus ini kepada pihak-pihak lainnya.
Sebab, terdapat kerugaian negara yang cukup besar dalam kasus ini. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerugian negara akibat penerbitan SKL BLBI terhadap obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ini mencapai Rp4,58 triliun.
Oleh karenanya, KPK sedang mengembangkan perkara ini ke tersangka lainnya lewat penyelidikan baru. Penyelidikan baru terhadap kasus ini dibuka setelah adanya putusan dari Pengadilan Tipikor Jakarta. Dimana, KPK mempertimbangkan pihak-pihak lain yang namanya disebut dalam persidangan.
Dalam perkara ini, majelis hakim tipikor Jakarta telah menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung. Selain itu, Syafruddin juga diganjar denda sebesar Rp700 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Majelis hakim meyakini Syafruddin terbukti bersalah karena perbuatannya melawan hukum. Dimana, menurut hakim, Syafruddin telah melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004.
Padahal, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, tidak ada perintah dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghapusbukukan utang tersebut.
Dalam analisis yuridis, hakim juga berpandangan bahwa Syafruddin telah menandatangi surat pemenuhan kewajiban membayar utang terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum membayar kekurangan aset para petambak.
Syafruddin juga terbukti telah menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Sjamsul Nursalim. Penerbitan SKL BLBI itu menyebabkan negara kehilangan hak untuk menagih utang Sjamsul sebesar Rp4,58 triliun.
Syafruddin pun tidak terima terhadap putusan tersebut. Pihak Syafruddin saat ini sedang mengupayakan banding di tingkat Pengadilan Tinggi DKI.
(Awaludin)