PASCA terjadinya bencana tsunami yang telah memporak-porandakan wilayah Pandeglag, Serang, hingga Lampung Selatan pada 22 Desember 2018 malam, aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tinggi.
Bahkan, saat ini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM telah menaikkan status Gunung Anak Krakatau dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), dengan zona berbahaya diperluas dari 2 kilometer menjadi 5 kilometer.
Kabar tersebut tentu mengejutkan masyarakat sehingga harus menghindari aktivitas di radius 5 kilometer dari puncak kawah gunung.
Di balik peristiwa tersebut, aktivitas gunung yang berada di Selat Sunda tersebut pernah lebih dahsyat dari sekarang. Letusannya jauh lebih besar. Dampaknya pun jauh lebih luas.
Berikut beberapa fakta yang dikumpulkan dari beberapa sumber tentang Gunung Krakatau sebelum dan sesudah "melahirkan anaknya" yang ada saat ini:
(Foto: Susi Air)
(Baca Juga: Kisah Ibu Korban Tsunami Banten: Anak Saya Terlepas, Sempat Pegang Kerahnya Tapi Sobek)
1. Letusan Besar pada 416 SM
Dalam catatan sejarah, Gunung Krakatau alami letusan besar pada 416 SM, yang menyebabkan tsunami dan pembentukan kaldera atau kawah (Judd, 1889). Dari sumber yang lain, De Neve (1981), juga memperoleh keterangan bahwa sebelum itu, beberapa letusan terjadi pada abad ke-3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang diikuti dengan pertumbuhan kerucut Rakata, Danan, dan Perbuwatan.
2. Menjadi Gunung Api yang Letusannya Paling Dahsyat
Gunung Krakatau kembali meletus pada 27 Agustus 1883. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic, mengatakan, bahwa ledakan itu adalah letusan yang paling besar, suara paling keras, dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern.
Pasalnya, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai tersebut hingga melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya.
Kekuatan letusan diperkirakana mencapai 30.000 kali bom atom yang meluluhlantahkan Nagasaki dan Hisroshima di akhir Perang Dunia II. Hingga akhirnya, menimbulkan gelombang pasang (tsunami) setinggi 30 meter di sepanjang pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung yang menewaskan 36.417 jiwa.
3. Suara Letusan 1883 Terdengar hingga Radius 4.653 Km
Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius 4.653 kilometer, yakni hingga Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika. Selain itu, getaran letusan dirasakan sampai Eropa.
(Foto: Getty Images)
(Baca Juga: Aditia Simpan Biskuit untuk Adiknya yang Ternyata Korban Tewas Tsunami Banten)
4. Menggelapkan Dunia
Letusan Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda menyebabkan perubahan iklim dunia. Selama dua setengah hari, dunia mengalami kegalapan akibat dari debu vulkanis yang menutupi atmosfer bumi.
Matahari pun bersinar redup sampai setahun berikutnya. Rata-rata suhu global turun 1,2° C. Hamburan debu pun tampak di langit Norwegia hingga New York.
Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888.
5. Melahirkan Gunung Anak Krakatau
Letusan Krakatau pada 1883 melahirkan gunung baru yang saat ini dikenal dengan Gunung Anak Krakatau. Anak Krakatau mulai tumbuh pada 20 Januari 1930 hingga sekarang. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan.
Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekira 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Saat ini, Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 mdpl (pengukuran September 2018).
6. Letusan Anak Krakatau Bertipe Strombolian
Letusan Anak Krakatau yang terjadi pada 20 Juni 2016, 19 Februari 2017, 29 Juni hingga 22 Desember 2018 memiliki tipe letusan strombolian, yakni semburan lava pijar dari magma yang dangkal, umumnya terjadi pada gunung api sering aktif di tepi benua atau di tengah benua.