Akibat KTP, warga adat juga kehilangan suara
Persoalan buta huruf adalah satu dari sederet hambatan masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Permasalahan besar lainnya dipicu aturan soal KTP elektronik sebagai dasar penggunaan hak suara.
AMAN mencatat, saat ini 3,2 juta anggota kelompok adat tinggal di kawasan hutan lindung dan konservasi. Setengah dari populasi itu tak memiliki e-KTP.
Kendala geografis menyulitkan mereka merekam e-KTP ke kantor Dinas Kependudukan yang berada di luar hutan.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri menyatakan sistem penerbitan kartu identitas nasional merujuk pada batas dan kode wilayah. Padahal, tak ada domisili pasti bagi warga adat di kawasan hutan.
"Mereka warga desa tertentu, turun-menurun di sana, tapi belum punya e-KTP. Ini harus dicari jalan keluar," kata pakar pemilu, Hadar Nafis Gumay.
"Seharusnya ada orang yang mendampingi warga adat yang mengkonfirmasi bahwa betul mereka adalah warga desa tersebut dan telah lama tinggal di sana."
"Penyelenggara pemilu juga bisa datang mengecek pemilih satu persatu, lalu membuatkan kartu pemilih. Intinya hal seperti itu sebenarnya bisa diupayakan," kata Hadar.
Merujuk surat Dirjen HAM, Mualimin Abdi, kepada KPU dan Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 10 September 2018, kini terdapat 777 kelompok adat yang tinggal di dalam hutan lindung dan 121 komunitas adat di hutan konservasi.
Mereka yang rentan kehilangan hak pilih akibat tak memiliki e-KTP antara lain kelompok adat Nolobuhu di Jayapura dan komuntas adat Rakyat Penunggu di Deli Serdang.
Mualimin berkata, KPU perlu melakukan tindakan khusus untuk memastikan kesetaraan kesempatan pada seluruh kelompok warga dalam pemilu, terutama bagi masyarakat adat.
KPU juga direkomendasikan membuka TPS keliling di kawasan hutan, khususnya yang terisolasi akibat konflik agraria dan konservasi.
Namun hingga saat ini, kata Evi Novida dari KPU pusat, "pemilih adalah mereka yang mempunyai e-KTP."
Evi berkata, ketentuan itu hanya dapat berubah jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi terhadap pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 tentang Pemilu.
(Fakhri Rezy)