JAKARTA – Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, akan segera keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Syafruddin akan segera menghirup udara bebas pada hari ini.
Berdasarkan pantauan Okezone, sejumlah kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung telah mendatangi rutan KPK. Kedatangan tim kuasa hukum tersebut disinyalir untuk menjemput kepulangan Syafruddin pascaputusan Mahkamah Agung (MA).
Majelis Hakim MA telah memutus menerima kasasi yang diajukan Syafruddin Arsyad Temenggung, terkait perkara dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI terhadap obligor BDNI.
Dalam putusannya, majelis hakim melepas segala tuntutan yang dilayangkan oleh Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hakim juga meminta Syafruddin dibebaskan dari penjara KPK dan memulihkan hak serta martabat mantan Kepala BPPN tersebut.
"Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum, memulihkan hak terdakwa, harkat, dan martabat. Terdakwa dikeluarkan dari tahanan dan menetapkan barang bukti dikembalikan kepada terdakwa," ucap Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengutip putusan hakim saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka, Jakarta Selatan, Selasa (9/7/2019).
Vonis tersebut diputus Ketua Majelis Hakim Salman Luthan dan dua anggota majelis, yaitu Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin. Menurut Abdullah, dalam menjatuhkan putusan tersebut terdapat dissenting opinion (perbedaan pendapat).
Perbedaan pendapat putusan tersebut terjadi antara Ketua Majelis Hakim dengan dua anggotanya. Ketua Majelis Salman sepakat dengan putusan di tingkat banding. Sementara dua anggotanya menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin bukan tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, majelis hakim pengadilan tipikor Jakarta telah menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung. Selain itu, Syafruddin diganjar denda Rp700 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Majelis hakim meyakini Syafruddin terbukti bersalah karena perbuatannya melawan hukum. Menurut hakim, Syafruddin telah melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004.
Padahal, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, tidak ada perintah dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghapusbukukan utang tersebut.
Dalam analisis yuridis, hakim juga berpandangan bahwa Syafruddin telah menandatangi surat pemenuhan kewajiban membayar utang terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum membayar kekurangan aset para petambak.