DENHAAG - Myanmar diadili di Mahkamah Internasional di Den Haag dan harus menjawan tuduhan bahwa militer di negara tersebut "melakukan genosida atau pembunuhan besar-besaran" terhadap warga minoritas Muslim Rohingya.
Pemimpin de facto Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, menjawab sendiri tuduhan tersebut dalam sidang hari Rabu (11/12).
Ia tidak menyinggung soal kesaksian yang dikutip dari para pengungsi Rohingya.
Tapi, ia menyanggah tuduhan bahwa negaranya melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya, dengan argumen bahwa tak ada bukti niatan genosida di balik tindakan militer Myanmar.
Suu Kyi dan timnya harus terbang ke Den Haag -- dan menjadi pusat perhatian masyarakat internasional -- setelah Gambia, negara di Afrika, membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional.
"Hari ini Republik Gambia meminta Anda untuk mendengar tangisan genosida dan tangisan permintaan tolong ini," kata Aboubacarr Tambadou, yang juga menteri kehakiman Gambia, memulai argumennya dengan kata-kata penuh emosi di Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) melansir BBC, Jumat (13/12/2019).
Baca juga: Rohingya Tuntut Keadilan di Mahkamah Internasional Minta Myanmar Bertanggung Jawab Atas Genosida
Baca juga: Myanmar Hancurkan Perkampungan Warga Rohingya Diganti dengan Bangunan Pemerintah
Tuduhan genosida terhadap pemerintahan Myanmar ini mendapat dukungan dari 57 anggota negara organisasi konferensi Islam (OKI) dan satu tim pengacara internasional, tetapi Tambadou inilah yang menjadi motor penggerak utama.
'Hukum bukan hanya untuk negara kaya'
Ribuan minoritas Rohingya dibunuh dan lebih dari 700.000 kabur ke negara tetangga Bangladesh dalam operasi militer tahun 2017 di negara berpenduduk mayoritas Buddha ini.
Langkah tentara Myanmar dan pemimpin de facto mereka Aung San Suu Kyi banyak mendapat kritik. Beberapa bahkan mendesak komite Nobel untuk menarik kembali hadiah yang pernah diberikan kepada Suu Kyi.
Namun negara yang memimpin langkah hukum ini adalah Gambia, negara kecil di Afrika Barat yang terletak lebih dari 11.000 km dari Myanmar.
"Kenapa kita harus menunggu yang lain untuk mengambil tanggung jawab ini?" tanya Aboubacarr Tambadou.
"Hukum internasional tidak hanya untuk negara kaya dan berkuasa, ini adalah untuk semua negara berdaulat. Kita tak perlu punya militer dan ekonomi yang kuat untuk mengejar keadilan, untuk melakukan hal yang benar," katanya kepada BBC World Service.
Gagal lagi
Pengacara yang beralih jadi politisi ini dikenal karena pernah menuntut penjahat yang terlibat dalam genosida di Rwanda.
"Gambia mengutuk genosida yang dilakukan Myanmar terhadap warganya sendiri. Saya rasa komunitas internasional harus melakukannya. Dunia sudah gagal terhadap Rwanda tahun 1994. Kini kita gagal lagi terhadap Rohingya."