Sang penyintas ini juga bersaksi tentang pemerkosaan.
"Ketika masuk ke rumah, para serdadu mengunci pintu. Salah satu dari mereka memerkosa saya. Mereka menikam saya di belakang leher dan perut."
Ia melanjutkan. "Saya mencoba menyelamatkan bayi saya yang baru berumur 28 hari. Tapi mereka melemparnya ke tanah dan dia mati. Perempuan lain yang ada di sana juga diperkosa."
Bicara kepada BBC, Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan Gambia telah mengajukan kasus yang kredibel tentang adanya niatan untuk melakukan genosida.
"Ada dua unsur yang jelas terbukti. Salah satunya adalah pembatasan yang jelas yang dikenakan kepada etnis Rohingya: pembatasan untuk menikah, untuk punya anak, pembatasan untuk berpindah tempat, kamp penahanan dan seterusnya. Satu lagi adalah terus menerus memperlakukan Rohingya secara tidak manusiawi dan menjelek-jelekkan mereka," katanya.
Penyangkalan
Bicara di mahkamah internasional di Den Haag, Aung San Suu Kyi menyanggah tuduhan genosida ini.
"Sangat disesalkan Gambia mengajukan kasus yang tak lengkap dan menyesatkan tentang gambaran faktual situasi di negara bagian Rakhine di Myanmar," katanya.
Ia menyalahkan pembunuhan dan tersingkirnya Muslim Rohingya ke kelompok militan yang mengincar kemerdekaan, sekalipun tak menolak kemunginan adanya kekuatan berlebihan yang dipakai oleh militer Myanmar di sana.
Untuk memutuskan Myanmar melakukan genosida, mahkamah harus memastikan bahwa negara bertindak "dengan niatan untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian" minoritas Rohingya.
Ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Sekarang ini Gambia hanya meminta mahkamah untuk memutuskan "ketetapan sementara" yang mengikat secara hukum untuk melindungi etnis Rohingya di Myanmar dan di mana pun dari ancaman dan kekerasan lebih lanjut.
Tambadou ingin Myanmar mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara dan menjamin keamanan mereka yang ingin kembali ke kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine.
"Yang Gambia inginkan adalah agar Myanmar berhenti membunuh orang-orang Rohingya," tegas Tambadou.
(Rachmat Fahzry)