Namun sesudah Presiden Donald Trump menarik AS dari perjanjian pada Mei 2018 dan kemudian kembali menerapkan sanksi yang melumpuhkan perekonomian Iran, Teheran mulai melanggar perjanjian.
Trump berdalih kesepakatan yang diteken di masa Presiden Barack Obama itu cacat dan ia ingin memaksa pemerintah Iran untuk merundingkannya kembali.
Perjanjian internasional menetapkan Iran hanya boleh memproduksi maksimal 300 kg uranium yang diperkaya dalam bentuk gas uranium hexafluoride (UF6), atau setara dengan 202.8 kg uranium.
Uranium berkadar rendah - yang mempunyai konsentrasi isotop U-235 antara 3% hingga 5% - dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bakar untuk pembangkit listrik. Adapun uranium untuk membuat senjata memerlukan konsentrasi setidaknya 90%.
Saudi minta dunia bersikap
Tak lama setelah laporan IAEA dirilis, Raja Salman bin Abdulaziz dari Arab Saudi - rival Iran di kawasan itu - mengatakan dunia seharusnya menempuh "sikap tegas" untuk memastikan Teheran tidak memproduksi senjata pemusnah massal.
"Kerajaan Arab Saudi menggarisbawahi bahaya akan proyek regional Iran, campur tangannya di negara-negara lain, mendorong terorisme, mengobarkan api sektarianisme dan Arab Saudi menyerukan sikap tegas masyarakat internasional terhadap Iran untuk menjamin pengawasan drastis dalam upaya Iran mendapatkan senjata pemusnah massal dan mengembangkan program rudal balistik," kata Raja Salman dalam pidatonya.