MANILA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte bertindak secara legal ketika dia memerintahkan lembaga penegak hukum untuk membunuh pemberontak komunis "bersenjata", hal itu dikatakan Juru Bicara Harry Roque.
Selama akhir pekan lalu, polisi Filipina, yang didukung oleh pasukan militer, menewaskan setidaknya sembilan orang dalam serangkaian penggerebekan terhadap tersangka pemberontak komunis. Tindakan polisi itu memicu kemarahan di antara kelompok hak asasi manusia (HAM) dan organisasi Katolik, yang mengutuk pembunuhan terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai aktivis sayap kiri, bukan pemberontak.
BACA JUGA: Duterte Ancam Usir Tentara AS Jika Washington Tempatkan Senjata Nuklir di Filipina
Roque mengatakan bahwa penyelidikan akan dilakukan terkait insiden ini, tetapi menegaskan bahwa perintah Duterte untuk menumpas pemberontak sesuai dengan hukum.
"Perintah 'bunuh, bunuh, bunuh' presiden adalah legal karena ditujukan kepada pemberontak bersenjata," kata Roque sebagaimana dilansir Sputnik. Dia menambahkan bahwa penyelidikan akan dilakukan.
Pemberontakan komunis di Filipina telah berlangsung sejak 1960-an ketika Partai Komunis Filipina bermaksud untuk menggulingkan pemerintahan resmi dan mengambil alih kekuasaan di negara tersebut. Sayap bersenjata partai komunis, Tentara Rakyat Baru, telah melakukan banyak serangan terhadap polisi dan terlibat dalam bentrokan dengan pasukan pemerintah. Kaum komunis terus menerus menyebut pemerintah pusat sebagai musuh rakyat.
BACA JUGA: Presiden Filipina Ancam Bunuh Orang yang Menudingnya Korupsi dengan Tuduhan Palsu
Pada 2016, Duterte memulai negosiasi damai dengan Tentara Rakyat Baru tak lama setelah menjabat. Selama pembicaraan, yang ditengahi oleh Norwegia, Duterte menawarkan beberapa posisi di kabinet kepada komunis. Namun, para pihak gagal menghentikan konflik karena masing-masing pihak menuduh pihak lain telah meningkatkan kekerasan.
Sejak memenangkan pemilihan presiden 2016, Duterte juga melakukan apa yang disebut "perang melawan narkoba" yang mengakibatkan kematian ribuan orang Filipina dan menimbulkan tuduhan eksekusi di luar hukum oleh polisi.
(Rahman Asmardika)