"Kami bersama di kelas bahasa Hindi biasa," kata Ayesha. Mereka kemudian berteman, dan semakin dekat. Dua tahun kemudian, Ayesha akhirnya bertanya pada Santosh apakah mencintai dirinya, dan menanyakan Santosh: kalau benar-benar cinta, kenapa dia tak mau mengakuinya?
Santosh mencintai Ayesha, tapi dia juga tahu bahwa jalan cintanya akan sulit di Gujarat, negara bagian di mana ketegangan komunal semakin dalam.
Mereka termasuk kelas menengah. Ayah Ayesha menjalankan bisnis UMKM lokal, dan Ayesha dulunya seorang guru sekolah. Ayah Santosh adalah juru tulis di sebuah kampus, di mana Santosh bekerja di bagian memasukkan data. Dia juga pekerja lepas sebagai fotografer.
Tapi Ayesha adalah Muslim dan Santosh seorang Dalit (kelompok yang diasingkan), kasta terendah dalam hirarki Hindu.
Keduanya mengenang peristiwa 2002 silam, di mana lebih dari 1.000 orang, kebanyakan Muslim, tewas dalam kerusuhan. Peristiwa ini terjadi setelah sebuah kereta di Gujarat terbakar dan menewaskan 60 peziarah Hindu.
Kelompok Muslim disalahkan atas pembakaran kereta tersebut. Itu merupakan salah satu momentum terburuk terkait dengan kekerasan agama di India.
Ayesha dan Santosh, yang tumbuh dan besar di bawah bayang-bayang konflik agama, sangat menyadari konsekuensi cinta yang dianggap di luar batas.
"Di Gujarat, menjadi pasangan beda agama adalah masalah besar," kata Santosh. "Kamu tak bisa bertemu, tak bisa ngobrol, kamu tak bisa melakukan apa pun,” terangnya.
Tapi mereka memutuskan terus menjalani kisah cinta pelik itu. Santosh mengatakan pada Ayesha bahwa sekalinya dia mulai menjalin hubungan, dia akan mempertahankannya sampai akhir.
Setelah lulus dari kampus pada 2012, mereka jarang sekali bertemu - tapi mereka akan bertemu dengan perencanaan yang matang. Mereka akan bertemu di tempat umum, jadi ini tidak akan mengundang kecurigaan. Dan pertemuan itu dibuat singkat.