Angka Kelahiran di China Turun Imbas Pengendalian Kelahiran dan Pria Kesulitan Dapat Istri karena Wanita Fokus Karier

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 28 Mei 2021 08:14 WIB
Angka kelahiran di China turun drastis.(Foto:Gatty Image)
Share :

Populasi yang menyusut bermasalah karena struktur usia terbalik, dengan lebih banyak lanjut usia daripada usia muda.

Jika itu terjadi, tidak akan ada cukup sumber daya manusia di masa depan untuk mendukung para lansia, dan mungkin ada peningkatan permintaan akan kesehatan dan pelayanan sosial.

Ning Jizhe, Kepala Biro Statistik China, mengatakan dalam sebuah presentasi bahwa angka kesuburan yang lebih rendah adalah akibat alami dari perkembangan sosial dan ekonomi di China.

Seiring dengan negara-negara yang kian maju, angka kelahiran akan turun karena pendidikan dan prioritas lain seperti karier.

Negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan, misalnya, juga mengalami penurunan angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir kendati ada beragam insentif pemerintah bagi pasangan agar mau memiliki lebih banyak.

Tetapi para ahli mengatakan, situasi China bisa lebih buruk mengingat banyaknya pria yang merasa sulit untuk menemukan istri, apalagi memikirkan untuk memulai sebuah keluarga.

Bagaimanapun, ada ketidakseimbangan gender yang parah di negara itu - tahun lalu, jumlah laki-laki lebih banyak 34,9 juta dari jumlah perempuan.

Ini adalah efek samping dari kebijakan satu anak yang ketat di negara itu, yang diperkenalkan pada 1979 untuk memperlambat pertumbuhan penduduk.

Dalam budaya yang secara historis lebih menyukai anak laki-laki daripada perempuan, kebijakan tersebut menyebabkan aborsi paksa dan dilaporkan melimpahnya anak laki-laki yang baru lahir dari tahun 1980-an dan seterusnya.

"Ini menimbulkan masalah bagi pasar perkawinan, terutama bagi pria dengan sumber daya sosial ekonomi yang kurang," kata Dr Mu Zheng, dari departemen sosiologi Universitas Nasional Singapura.

Dengan jumlah laki-laki yang lebih banyak ketimbang perempuan, beberapa di antaranya akan kesulitan mencari pasangan. Pada 2016, pemerintah menghentikan kebijakan itu dan memperbolehkan pasangan untuk memiliki dua anak.

Namun, reformasi ini gagal memulihkan angka kelahiran yang anjlok meskipun dua tahun setelah kebijakan itu dicabut angka kelahiran mengalami sedikit peningkatan.

Para ahli mengatakan gagalnya pemulihan angka kelahiran juga disebabkan pelonggaran kebijakan yang tak disertai perubahan lain yang dapat mendukung keberlangsungan hidup sebuah keluarga, seperti dukungan keuangan untuk pendidikan atau akses ke fasilitas penitipan anak.

Banyak orang tidak mampu membesarkan anak-anak di tengah meningkatnya biaya hidup, kata mereka.

"Keengganan orang untuk memiliki anak tidak terletak pada proses melahirkan anak, tetapi apa yang terjadi setelahnya," kata Dr Mu.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya