Meskipun BBC diberi kesempatan mengunjungi pulau itu tahun 2020, sulit mengatakan apa yang terjadi di sana. Tidak ada jurnalis, lembaga bantuan atau kelompok hak asasi manusia yang diberi akses gratis ke Bhasan Char, yang berjarak 60 kilometer dari daratan terdekat.
Ini adalah suara beberapa pengungsi di sana. Nama mereka diubah untuk melindungi identitas mereka.
'Tempat yang begitu sunyi'
"Saya bertanya-tanya bagaimana kami bisa bertahan di sini," kata Halima, mengingat satu malam di bulan Desember 2020, saat dia tiba dalam kondisi hamil tua bersama keluarganya.
"Tempat itu sangat terpencil. Selain kami, tidak ada yang tinggal di sini," ucapnya.
Posisi mereka yang terisolasi menjadi sangat jelas keesokan harinya ketika Halima melahirkan, tanpa bantuan dokter atau perawat.
"Saya pernah melahirkan sebelumnya, tapi itu adalah yang terburuk. Saya tidak bisa memberitahumu betapa menyakitkan proses itu."
Suaminya, Enayet, bergegas mencari seorang perempuan Rohingya yang tinggal di blok yang sama. Perempuan itu yang memiliki pengalaman dan pernah dilatih sebagai bidan.
"Tuhan membantu saya," kata Halima. Dia melahirkan bayi perempuan dan menamainya Fathima.
Enayet lalu mendaftarkan keluarganya untuk kehidupan baru di pulau itu tanpa memberi tahu keluarganya.
"Mereka (pejabat Bangladesh) menjanjikan banyak hal kepada kami, seperti sebidang tanah untuk setiap keluarga, sapi, kerbau, dan pinjaman untuk memulai bisnis," katanya kepada BBC.
Kenyataannya sangat berbeda. Walau begitu Halima mengaku gembira mendapat fasilitas air bersih, ranjang susun, kompor gas, dan toilet komunal di tempat tinggal mereka.
Masalah terbesar adalah mereka tidak mampu membeli apa pun, selain makanan yang sangat mendasar.
Keluarga pengungsi di Bhasan Char diberi sembako seperti beras, lentil, dan minyak goreng. Tapi mereka perlu membeli bahan makanan lain seperti sayur, ikan dan daging.
Tidak ada pasar di sana, tapi beberapa orang Bangladesh membuka toko di pulau itu.
Perjalanan ke daratan pun tidak mungkin dilakukan. Tidak ada layanan feri dan angkatan laut lainnya. Kapal yang datang hanya mengangkut pengungsi.
"Kami orang miskin," kata Halima, "Kami tidak punya penghasilan untuk membeli makanan dan barang lainnya."
Makanan adalah pemicu protes pertama di pulau itu pada Februari lalu. Video yang dilihat BBC menunjukkan sejumlah perempuan dan laki-laki Rohingya berlari membawa tongkat sambil berteriak.
Otoritas Bangladesh meremehkan peristiwa tersebut.