Seni Belajar Sabar dan Tabah dari Jepang, Dimulai dari SD

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Senin 26 Juli 2021 11:22 WIB
Seni belajar tabah dan sabar dari Jepang (Foto: Alamy)
Share :

  • 'Mempercantik gaman'

'Gaman' berasal dari ajaran Buddhis tentang memperbaiki diri sendiri sebelum secara bertahap dibentuk menjadi mekanisme ketekunan bagi individu yang mendambakan tempat dalam kelompok sosial.

Tingkah laku ini diasah selama ledakan ekonomi Jepang usai perang ketika upaya 'memajukan negara' berarti mengorbankan waktu bersama keluarga demi pekerjaan berjam-jam di kantor.

Beberapa orang melihat ketekunan gaya 'gaman' sebagai ciri khas Jepang.

"Ini adalah ciri khas orang Jepang, tapi memiliki poin baik dan buruk," kata Nobuo Komiya, kriminolog di Universitas Rissho di Tokyo.

Komiya percaya pengawasan timbal balik, pemantauan diri, dan harapan publik yang terkait dengan 'gaman' merupakan faktor penyebab rendahnya tingkat kejahatan di Jepang.

Di mana orang saling menjaga dan menghindari konflik, di sanalah setiap orang lebih berhati-hati dengan tindakan mereka.

Tapi ini bukan hanya tentang dinamika kelompok.

"Penting untuk diingat gaman bermanfaat bagi individu," kata Komiya.

"Itu berarti mereka tidak dipecat dari pekerjaan atau bisa mendapatkan keuntungan dari melanjutkan hubungan dengan orang-orang di sekitar mereka,” ungkapnya.

Tapi 'gaman' juga memberikan tekanan pada individu.

"Kami mempercantik 'gaman'," ujar Odagiri.

Banyak orang di Jepang mengharapkan orang lain untuk menebak bagaimana perasaan mereka, daripada mengekspresikan diri mereka secara langsung, dan terkadang tekanan dalam diri dapat meningkat.

"Terlalu banyak 'gaman' berdampak negatif pada kesehatan mental kita," katanya.

"Kadang-kadang ketika orang terlalu banyak berpikiran negatif, 'gaman' bisa berubah menjadi penyakit psikosomatis,” terangnya.

“Meminta bantuan untuk kesehatan mental sering dianggap sebagai kegagalan,” lanjutnya.

Orang-orang diharapkan untuk mengelola diri mereka sendiri. Namun terkadang ini tidak berhasil dan menyebabkan ledakan kemarahan, yang dapat mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga atau di tempat kerja.

'Gaman' juga bisa membuat perempuan terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia.

"Masyarakat kita mengharapkan perempuan untuk rendah hati atau tidak banyak bicara. Jadi terkadang perempuan berusaha untuk tidak mengungkapkan perasaan negatif, hanya 'gaman'," kata Odagiri.

Dan ketika mereka memutuskan untuk bercerai, banyak perempuan yang menemukan fakta bahwa mereka tidak bisa melakukan itu karena mereka telah mengesampingkan karir mereka demi keluarga dan tidak lagi mandiri secara finansial.

Komiya menghubungkan meningkatnya laporan pelecehan seksual baru-baru ini dan intimidasi dengan kehancuran struktur sosial yang memprioritaskan kelompok daripada pribadi.

"Orang Jepang mengatakan 'gaman' adalah kebajikan nasional, tapi sebenarnya itu adalah sarana untuk tetap berada dalam kelompok," kata Odagiri.

Sekarang orang merasa kecil kemungkinannya untuk dikecualikan jika mereka angkat bicara.

Kenapa melakukan 'gaman' pada era gig economy?

Masyarakat memang sedang berubah. Sekitar 30 tahun yang lalu, pekerjaan di Jepang berlaku seumur hidup.

Secara tradisional, laki-laki bekerja berjam-jam untuk mendapatkan senioritas di perusahaan tempat mereka menghabiskan seluruh karir mereka. Adapun perempuan biasanya ditempatkan di pekerjaan jalur non-promosi sebagai persiapan keluar dari karier demi membesarkan anak.

Namun hari ini sistem pekerjaan seumur hidup sedang runtuh. Orang-orang memilih menunda pernikahan, lebih banyak perempuan kini bekerja, dan tingkat kelahiran berada pada tingkat terendah dalam sejarah.

Banyak anak muda bekerja dengan sistem kontrak sementara atau pekerjaan paruh waktu di mana 'gaman' tidak lagi memiliki makna.

"Mereka tidak melihat Anda sebagai anggota kelompok. Anda dipekerjakan dan dipecat, Anda memiliki kontrak, Anda dibayar per jam," kata Slater.

"Seluruh gagasan 'gaman' di Jepang benar-benar tidak adaptif. Anda akan mempertahankan pekerjaan Anda dengan diam, tapi semua nilai 'gaman' yang masuk akal untuk hubungan sosial yang koheren dan tidak lagi relevan,” urainya.

Dan beberapa anak muda memilih untuk tidak menjalankan 'gaman,'. Mereka menghindari jalan yang diambil generasi sebelumnya.

Mami Matsunaga, 39, bekerja di industri media fashion sebelum pindah dari Tokyo ke kawasan dekat pantai. Dia sekarang berselancar setiap hari dan mengajar cara pernapasan serta yoga dalam sesi retret maupun lokakarya di seluruh Jepang.

"Dalam budaya Jepang, harapan untuk 'gaman' memberi tekanan pada semua orang untuk melakukan hal yang sama dan menyisakan sedikit ruang untuk perbedaan," kata Matsunaga.

Ditanya apakah dia pernah bertahan di tempat kerja, dia menjawab: "Tidak, saya tidak melakukannya. Saya segera meninggalkan pekerjaan jika hal seperti itu perlu terjadi."

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya