Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah mengatakan keberhasilan Taliban menguasai setengah dari 34 provinsi di Afghanistan belum tentu menunjukkan ada ketidakpuasan terhadap pemerintahan Afghanistan yang sekarang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani.
Dia menambahkan mundurnya pasukan Amerika dari Afghanistan menjadi penyebab kekalahan pasukan pemerintah Afghanistan.
Syauqillah menambahkan negara-negara di kawasan Asia Tengah harus siap merespon kalau nantinya Taliban bisa memegang kendali kekuasaan di Afghanistan.
Ini akan mempengaruhi dinamika geopolitik regional dan menarik untuk dilihat. Misalnya apakah negara-negara kawasan mau bernegosiasi atau berhubungan dengan Afghanistan.
"Mulai dari sekarang komunitas internasional perlu memikirkan format seperti apa yang dilihat kalau Taliban berkuasa. Atau malah situasinya memburuk. Misalkan ada perlawanan yang cukup alot antara rezim dengan Taliban," ujarnya.
Mengenai sikap yang mesti dikedepankan Indonesia, Syauqillah menilai peran Indonesia harus lebih menggedepankan perdamaian dan mendorong dialog antara kedua pihak bertikai di Afghanistan untuk bersatu sehingga perang tidak berkepanjangan.
Syauqillah belum bisa membaca bagaimana sikap pemerintah Indonesia kalau Taliban nantinya berkuasa di Afghanistan. Dia juga belum menjawab apakah Taliban akan menampikan wajah Islam moderat jika mereka berkuasa lagi di Afghanistan atau tetap konservatif-radikal.
Memenuhi janjinya dalam perundingan dengan Taliban di Doha, Qatar, pada awal tahun 2020, Amerika dan NATO menarik mundur seluruh pasukannya, selambat-lambatnya pada 11 September mendatang, yang sekaligus bertepatan dengan 20 tahun pasca serangan teroris di Amerika.
Meskipun demikian, Sekjen NATO Jens Stoltenberg, sesuai pertemuan Dewan Atlantik Utara, Kamis (12/8), mengatakan NATO akan mempertahankan kehadiran diplomatiknya di Kabul dan sedapat mungkin menyesuaikan diri. Selain itu, NATO masih akan terus mendukung pemerintah dan pasukan keamanan Afghanistan sebisa mungkin.
(Susi Susanti)