Sementara itu bukannya mengantarkan momen persaudaraan komunal yang luar biasa, persatuan Hindu-Muslim malah menimbulkan ketakutan akan mayoritasisme di antara kelompok-kelompok minoritas yang lebih kecil: Kristen, Sikh, Parsi, dan Yahudi.
Gandhi mengatakan mereka tidak perlu takut. "Perjanjian Hindu-Muslim tidak berarti bahwa komunitas besar harus mendominasi komunitas kecil," katanya.
Pangeran Wales, pada bagiannya, secara naif berharap bahwa kunjungannya akan membangkitkan sentimen loyalis dan menghilangkan kekuatan gerakan Gandhi. Sebagai tanggapan kedatangannya, Kongres Nasional India memutuskan untuk menyambut sang pangeran ke Bombay dengan hartal atau pemogokan, dan api unggun dari kain buatan luar negeri, simbol imperialisme ekonomi Inggris.
Pada 17 November 1921, sejumlah besar penduduk Bombay menentang pemogokan dan menghadiri kedatangan sang pangeran dengan kapal. Banyak dari simpatisan ini adalah anggota golongan Parsi, Yahudi, dan Anglo-India.
Terlepas dari arahan Gandhi untuk tetap bergerak tanpa kekerasan, para sukarelawan Kongres dan Khilafat malah bereaksi dengan marah. Homai Vyarawalla, yang menjadi jurnalis foto wanita pertama di India, adalah saksi muda peristiwa ini.
Ketika diwawancarai pada 2008, dia mengenang siswi Parsi yang mementaskan garbas - sebuah tarian tradisional - untuk menyambut Pangeran Wales. Tetapi pada hari-hari berikutnya, Vyarawalla mengamati pertempuran sengit di jalan-jalan Bombay. Para perusuh menggunakan stop marmer botol soda sebagai proyektil mematikan. Mereka menargetkan toko minuman keras milik Parsi, melemparkan batu dan mengancam akan membakarnya.