JAKARTA - Mantan Panglima ABRI, Jenderal (Purn) Benny Moerdani pernah menyuplai senjata secara diam-diam untuk Taliban.
Dikutip dari buku Benny Moerdani yang Belum Terungkap, berikut cerita proses penyuplaian senjata yang pernah dilakukan Benny Moerdani diwarnai dengan berbagai aksi kamuflase.
Kisahnya berawal saat pasukan Uni Soviet akan menduduki Afganistan yang sampai ke telinga aparat intelejen Indonesia. Juga adanya informasi Afganistan hanya berani menggunakan strategi perang gerilya melawan Soviet.
Fakta ini mencemaskan Amerika Serikat, yang sedang terlibat perang dingin dengan Uni Soviet. Indonesia, yang sedang mesra dengan Amerika, lantas memutuskan untuk membantu Afganistan (Pasukan Taliban).
Apalagi pasukan Taliban yang bersiap melawan Soviet itu bukanlah kelompok biasa. Mereka sebenarnya milisi yang dilatih oleh Central Intelligence Agency, dinas intelijen Amerika.
Baca juga: Saat Jenderal Baret Merah Bertaruh Nyawa Bubarkan Bentrok Berdarah Kopassus dengan Marinir
Kemudian pada 18 Februari 1981, Letnan Jenderal Benny Moerdani, yang waktu itu Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, langsung berangkat ke Islamabad, Pakistan. Di sana, ia bertemu dengan kepala intelijen Pakistan.
Baca juga: Benny Moerdani, Jenderal Intel Perintis Jalan Politik Soeharto!
Kala itu, Teddy Rusdy yang merupakan mantan Asisten Perencanaan Umum ABRI sekaligus merangkap Direktur E/Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan BAIS ABRI ikut mendampingi Benny ke Pakistan.
“Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afghanistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afghanistan,” kata Teddy.
Setelah disepakati, senjata itu lalu diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah. Sebelum diterbangkan, nomor seri senjata-senjata itu dihapus dan dikemas dalam peti-peti berlambang Palang Merah untuk menyamarkannya sebagai bantuan makanan atau obat-obatan.
Teddy sendirilah yang mengantar bantuan persenjataan tersebut. Namun, pesawat yang pembawa senjata itu tidak melewati India yang kala itu sedang pro-Soviet.
Pesawatnya dibelokkan ke laut via Pulau Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia. Jarak tempuh menjadi lebih jauh yaitu 600 mil.
Di pangkalan milites milik Amerika ini, pesawat mampir mengisi bahan bakar. Teddy melukiskan Diego Gare sebagai pulau yang indah dan nyaman. "Tapi tempatnya tertutup sekali," ujarnya.
Baca juga: Taliban Keluarkan Fatwa Larang Stasiun TV Afghanistan Tampilkan Artis Perempuan
Seluruh aktivitas Teddy dipantau Benny dari Jakarta. Benny juga meminta Teddy terus berkomunikasi dengannya melalu scrambler peralatan komunikasi milik intelijen. Karena operasi ini bersifat rahasia, Benny tak memberi tahu Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Pakistan, Kolonel Kavaleri Harjanto.
Pengawasan selama penerbangan diserahkan kepada Kuntara, tentara intelijen yang ditempatkan di Rawalpindi.
Saat pesawat mendarat, intel Pakistan sudah siaga. Mereka membawa sekitar 20 truk. Menjelang pagi, iring-iringan bergerak melalui Attock, Nowshera, Peshawar, melalui lembah Khyber Pass, menuju Afganistan.
Bantuan ini diserahkan kepada pemimpin Taliban di Nangarhar. Menurut Teddy, dukungan untuk Taliban menunjukkan solidaritas Indonesia kepada mereka yang diinvasi.
Soviet memang membantu Indonesia saat merebut Papua, tapi hubungan itu memburuk setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. "Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya, kami kasih saja," katanya.
Baca juga: Ketika Taliban Gelar Parade Militer dengan Peralatan AS dan Rusia
(Fakhrizal Fakhri )