Cerita Kapal Pengangkut Budak Terakhir dari Afrika ke AS

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Selasa 15 Februari 2022 18:43 WIB
Kapal pengangkut budak terakhir dari Afrika ke AS (Foto: Alamy)
Share :

Ditambah pembayaran sebesar USD3,6 juta (Rp51 miliar) dari kompensasi tumpahan minyak British Petroleum yang dialokasikan untuk pembangunan kembali Africatown Welcome Center. Pembangunan ulang gedung ini telah lama ditunggu-tunggu sejak tersapu Badai Katrina pada 2005.

Patterson kemudian mengantarku ke rumah neneknya. Kami menepi untuk berbincang dengan tetangganya yang lanjut usia di beranda rumahnya. "Mohon tidak memotretku," ujarnya dengan sopan.

Tidak seperti beberapa keluarga keturunan lainnya, dia memberi tahu saya, ketika tumbuh dewasa dia hanya diberi tahu sedikit tentang leluhurnya.

"Saya pikir orang tua saya mungkin malu," kenangnya.

Rasa malu itu menurutnya muncul karena para penyintas kapal pengangkut budak itu telah menghadapi banyak hinaan, termasuk ditelanjangi selama perjalanan.

"Itu pasti menghancurkan harga diri mereka," terangnya.

Pengumuman penemuan bangkai kapal pada 2019 membangkitkan rasa ingin tahu Patterson. Dia mulai mengumpulkan peninggalan leluhurnya hingga pada titik "seluruh kehidupannya berubah".

Sejak saat itu dia menjadi orang yang aktif memastikan kisah leluhurnya diceritakan secara akurat, termasuk saat berperan dalam film berjudul Descendant yang ditayangkan perdana di Sundance Film Festival 2022.

Dia juga berperan menjadi produser dalam film dokumenter yang akan segera tayang, berjudul ‘The 110: The Last Enslaved Africans Brought to America’. Film ini berkisah tentang para penyintas kapal Clotilda.

Bagi Patterson, penemuan kapal itu membawa harapan baru bahwa Africatown akan bangkit.

"Setelah bertahun-tahun penyangkalan, keberadaan kapal itu akhirnya ditegaskan, jadi beban yang ada telah diangkat," kata Komisaris Wilayah Mobile, Merceria Ludgood.

"Itu sama pentingnya terhadap karakter Africatown dengan revitalisasi perumahan yang saat ini terjadi," ujarnya.

Meskipun jumlah restoran dan fasilitas pariwisata minim, Ludgood menilai situasi itu bisa berubah.

Dia sendiri terlibat dalam pendirian Africatown Heritage House, sebuah museum permanen yang digagas dalam kolaborasi bersama History Museum of Mobile. Tujuan museum itu adalah memetakan sejarah Africatown.

"Mudah-mudahan industri rumahan akan bermunculan, yang dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di komunitas tersebut," lanjutnya.

Ludgood mencatat bahwa penemuan Clotilda telah memberikan dorongan kepada komunitas Africatown, yang bergema jauh melampaui harapan ekonomi.

Tujuan lain dalam tur yang diapandu Patterson adalah Africatown Heritage House. Bangunan ini terletak di pusat permukiman, menghadap ke deretan bungalow sederhana yang terawat baik di jalan dengan deretan pohon palem.

Museum yang sedang dibangun ini akan dibuka pada awal musim panas 2022. Koleksinya mencakup artefak Afrika Barat dan sebagian bangkai kapal Clotilda, yang dipamerkan dalam bongkahan pelestarian.

Museum ini menjanjikan wawasan unik, mengingat waktu pelayaran Clotilda yang relatif baru dalam kaitannya dengan sejarah perbudakan.

"Ini sebenarnya adalah kisah perdagangan budak terbaik yang tercatat rapi, yang kita miliki sebagai sebuah bangsa," kata Meg McCrummen Fowler, Direktur History Museum of Mobile.

"Ada banyak sumber sejarah. Beberapa penyintas hidup panjang umur hingga abad ke-20, jadi alih-alih tenggelam, kisah itu tercatat dalam buku harian atau catatan kapal," ujarnya.

Proyek pembangunan ulang ini juga mencakup jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua wilayah Africatown. Keduanya saat ini dipisahkan oleh jalan bebas hambatan.

Tur mengarungi air yang membawa pengunjung ke dekat lokasi kapal karam dijadwalkan akan dimulai pada musim semi tahun 2022. Beberapa penduduk lokal juga menawarkan tur jalan kaki ke Africatown.

Walau jumlah turis belum masif, Africatown menghadapi serangkaian tantangan yang umum dihadapi permukiman lainnya di AS, terutama yang mengalami revitalisasi yang cepat.

Persoalan itu antara lain memastikan seluruh warga mendukung perubahan. Namun Patterson mengatakan bahwa komunitas Africatown bersatu dalam misi yang sama.

"Kami semua setuju dengan ini," tambahnya.

Perhentian terakhir tur kami adalah pemakaman, tempat banyak budak Clotilda dikuburkan.

Saat kami berjalan, Patterson berkata bahwa dalam narasi sejarah yang meresahkan, dia berharap akan ada cukup minat berkelanjutan untuk menghasilkan dana yang dibutuhkan untuk mengangkat bangkai kapal dari air.

Meskipun dampak sebenarnya dari penemuan kapal dongeng ini belum terlihat, bagi Patterson, ini memberikan kesempatan untuk mengangkat komunitas Africatown dan menghormati perjuangan para pendirinya.

"Ini lebih dari sekadar batu bata dan mortir, ini pada akhirnya tentang pertumbuhan jiwa kita," katanya.

Patterson melihat ke atas batu nisan yang hancur. Seluruh kuburan itu menghadap ke timur, ke arah tanah air mereka di Afrika.

"Penemuan bangkai kapal ini akhirnya memvalidasi kebenaran kami," ujar Patterson.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya