KETIKA Perang Dunia II berakhir, konflik paling berdarah dalam sejarah yang menewaskan lebih dari 70 juta orang, militer Amerika Serikat (AS) mengemukakan kesimpulan menakjubkan: yang tewas dibunuh belum cukup banyak.
Dengan kata lain: tentara AS tidak cukup banyak berpartisipasi dalam pembunuhan.
Melansir BBC, di dalam regu berisi 10 serdadu, rata-rata kurang dari tiga serdadu yang menembakkan senjata mereka saat bertempur—lepas dari pengalaman mereka atau seberapa besar ancaman musuh terhadap nyawa mereka.
Hal ini dijabarkan analis sekaligus sejarawan resmi militer AS, Brigadir Jenderal Samuel Lyman Atwood Marshall alias S.L.A. Marshall atau 'Slam,' yang menulis sejumlah artikel dalam jurnal-jurnal militer yang belakangan dijadikan buku berjudul Men Against Fire.
Karyanya menuai kritik tajam dari banyak kalangan yang menuduhnya penipu. Namun, saat itu karyanya merevolusi pelatihan di tubuh militer AS.
Rasio penembakan
"Seorang komandan infanteri akan dianjurkan untuk meyakini bahwa ketika dia berhadapan dengan musuh, tidak lebih dari seperempat anak buahnya yang akan melancarkan serangan telak," tulis Marshall.
"Estimasi 25%," tambahnya.
"Berlaku pula untuk pasukan yang terlatih dengan baik dan berpengalaman bertempur. Maksud saya, 75% tidak akan menembak atau tidak akan secara konsisten menembak musuh. Serdadu-serdadu ini mungkin menghadapi bahaya tapi mereka tidak akan melawan," ujarnya.
Marshall belakangan merevisi estimasinya dari rata-rata 75% menjadi 85%.
Lantas mengapa pasukan infanteri AS baik di palagan Eropa maupun Pasifik begitu enggan menembakkan senjata walau menghadapi bahaya ekstrem?
Menurut Marshall, ada dua penyebab. Pertama, mayoritas tentara akan selalu cenderung memasrahkan pekerjaan kepada segelintir orang. Kedua, peradaban yang berkembang di Amerika membuat warga AS "takut terhadap agresi" sehingga mereka tidak bertempur.
Kesimpulan Marshall adalah orang Amerika adalah manusia yang terlalu damai secara inheren.
Karena itu, segenap tentara harus dilatih menembakkan senjata mereka menggunakan insting dalam pertempuran, tanpa berpikir atau menggunakan perasaan belas kasihan.