Seorang perempuan Afghanistan yang meminta untuk disebutkan namanya, mengatakan pada Associated Press bahwa “setelah mereka (Mast dan istrinya.red) mengambil bayi itu, air mata kami tidak pernah berhenti. Saat ini kami hanya mayat. Hati kami hancur. Tanpa dia, kami tidak memiliki rencana untuk masa depan. Makanan yang kami makan tidak ada rasanya, tidur juga tidak membuat kami bisa beristirahat.”
Kementerian Luar Negeri Taliban baru-baru ini memperbarui kritiknya terhadap evakuasi massal warga Afghanistan, dengan mengatakan mereka dibawa ke luar negeri oleh Amerika dan sekutunya “secara tidak pantas”. Taliban juga menuduh bahwa banyak dari pengungsi “kini berada di berbagai kamp dalam ketidakpastian hukum dan kehilangan hak asasi manusia mereka.”
Pernyataan itu mendesak negara-negara tuan rumah untuk melindungi hak asasi manusia dan hukum para pengungsi Afghanistan sesuai hukum internasional dan melalui layanan konsuler.
Taliban merebut kembali Afghanistan pada Agustus 2021 ketika pemerintahan yang didukung Amerika di Kabul ambruk, dan mundurnya pasukan asing setelah berperang dengan pemerontak Islam saat itu selama lebih dari 20 tahun.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban mendorong evakuasi massal warga Afghanistan yang takut terhadap pembalasan Taliban karena berpihak pada pasukan internasional melawan mereka. Amerika menerbangkan lebih dari 120.000 orang ke tempat yang aman. Sebagian dari pengungsi ini diterbangkan ke negara-negara ketiga untuk diproses pemukiman kembali ke Amerika, tetapi mereka belum dimukimkan kembali dan kini dihadapkan pada masalah perumahan dan tantangan untuk menyekolahkan anak-anak mereka kembali.
Belum Ada Negara Akui Pemerintahan Taliban
Belum ada satu pun negara yang mengakui secara resmi legitimasi pemerintah Taliban, dengan alasan terorisme dan keprihatinan atas kondisi HAM – terutama perempuan dan anak perempuan.