KITA terpesona oleh harta karun dari negeri nun jauh di sana, yang berasal dari era kuno, meski sebagian besar dari kita buta tentang asal-usulnya. Dalam sejarah seni yang panjang terdapat sejarah penjarahan seni yang hampir sama panjangnya.
Menugutip BBC News Indonesia, yang kerap tidak diceritakan adalah bagaimana sebuah karya seni diperoleh. Acap kali, karya seni dijarah secara brutal dari pemilik aslinya sebagai rampasan perang. Sebagian lain dikuasai seiring penaklukan kolonial dan atas perintah penguasa lalim.
Hingga kini, kita banyak membaca tentang perselisihan internasional atas kepemilikan dan restitusi. Salah satunya terkait tudingan bahwa museum seni terbesar di Swiss diduga memajang setidaknya 90 karya dengan asal-usul yang bermasalah.
Kontroversi baru-baru ini berfokus pada asal dan nasib berbagai barang berbahan perunggu dari Benin dan sejumlah lempengan serta patung logam yang menghiasi istana Kerajaan Benin di wilayah Nigeria modern.
Setidaknya beberapa di antara benda seni itu sedang dalam proses menemukan jalan kembali ke Nigeria dan Republik Demokratik Kongo dari banyak museum dan negara-negara yang pernah menjajahnya.
Baca juga: Lukisan di Dapur Rumah Seorang Lansia Ternyata Karya Legendaris Berharga Rp354 Miliar
Beragam benda seni itu kini masih berada di Belgia, Jerman, British Museum dan New York's Metropolitan Museum.
Sejarah pencurian dan penyelamatan karya seni seperti itu juga terungkap dalam pameran yang digelar baru-baru ini di Museum Yahudi New York. Pagelaran itu berjudul Afterlives: Recovering the Lost Stories of Looted Art. Dalam ajang itu, kisah penjarahan disajikan melalui kekayaan seni dan budaya.
Karya seni yang 'merosot'
Di pembukaan pameran di Museum Yahudi, New York, kami melihat satu demi satu kanvas luar biasa karya Pierre Bonnard, Marc Chagall, Paul Cézanne, Henri Matisse, Camille Pissarro, dan pelukis modernis besar Eropa lainnya.
Masing-masing lukisan itu disertai kisah tentang bagaimana karya seni tersebut dijarah oleh Nazi. Banyak dari karya ini diambil dari kolektor dan seniman yang kebetulan merupakan orang Yahudi.
Beberapa lukisan ini secara sengaja hendak dihilangkan karena dianggap tidak sesuai dengan definisi sempit Hitler tentang seni Arya yang seharusnya.
Menurut Hitler, karya seni Arya harus merepresentasikan nilai-nilai baik ras. Sebaliknya, lukisan yang disita Nazi diciptakan dalam konsep ekspresionisme. Banyak lukisan itu abstrak, sesuai ciri karya modernis, yang oleh Nazi dilabeli sebagai "karya seni yang merendahkan ras Arya".
Dalam pameran itu terdapat pula deretan benda-benda ritual berbahan perak yang pernah menghiasi rumah dan sinagoga komunitas Yahudi di Eropa.
Sejumlah benda seni itu dapat dan semestinya dikagumi karena keindahannya. Namun dalam konteks pameran ini, karya itu berbicara lebih lantang tentang bagaimana mereka dijarah dari pemilik aslinya, dicerabut dari fungsinya untuk menyambut hari Sabat atau merayakan tonggak kehidupan dan kematian menurut tradisi Yahudi.
Anda tidak bisa mengelilingi galeri ini tanpa membayangkan rasa kehilangan yang dialami begitu banyak orang sepanjang sejarah. Dorongan emosional pameran ini sangat dalam.
Sederet karya seni ini adalah penyintas material dari komunitas Yahudi di Eropa. Masing-masing dari benda ini memiliki kisah berbeda, dari "kehidupan setelah kematian", hingga bagaimana mereka bertahan.
Namun secara keseluruhan, kisah-kisah ini juga mengikuti perjalanan nasib setiap karya, dari pencurian, pemindahan, hingga penyelamatan hingga restitusi akhirnya.
Jalan yang berbeda menuju kehidupan setelah kematian seperti itu terlihat dari saat Anda memasuki pameran.
Anda akan disambut, pertama kali, oleh lukisan cantik karya seniman Ekspresionis Jerman, Franz Marc.
Karya bertajuk The Large Blue Horses yang dilukis pada tahun 1911, menggambarkan tiga kuda berwarna biru cerah, yang berkerumun bersama di latar depan, dengan lereng bukit di belakang dengan sapuan warna biru, merah dan hijau.
Meskipun Marc mati berjuang untuk Jerman dalam Perang Dunia Pertama, Hitler melarang karyanya.
Tapi karya itu lolos dari jangkauan Nazi karena pada tahun 1938 pemiliknya, seorang warga Jerman, mengirimnya ke London, untuk dimasukkan dalam pameran seni "anti-Hitler".
Dari pameran itu, lukisan tersebut melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk ambil bagian dari pameran bertajuk Seni Terlarang Jerman Abad ke-20. Pada ajang itu, seorang warga AS membelinya. Kini lukisan tersebut menjadi bagian dari Walker Art Center di Minneapolis.
Dan tampaknya, lukisan itu memiliki kesamaan tema untuk dipajang dalam pameran di New York, yang artinya, dia dipinjamkan sekali lagi.