Namun setiap kali dia kabur, dia tertangkap dan dibawa kembali ke Niger untuk menghadapi hukuman yang lebih keras.
"Dia akan mengatakan bahwa dia bisa melakukan apa saja kepada saya sesuka hatinya karena dia membeli saya seperti dia membeli kambingnya," katanya.
Dia diperkosa dan dipaksa melahirkan anak-anak dari majikannya.
Niger adalah salah satu negara yang terkait dengan perdagangan budak lintas-atlantik, di mana orang Afrika yang diperbudak pernah diangkut secara paksa ke Amerika oleh orang-orang Eropa Barat.
Namun praktik wahaya sudah ada jauh sebelum era itu dan mengakar kuat di negara tersebut.
Kolonial Prancis melarangnya pada awal abad ke-20, namun pada kenyataannya, mereka lebih sering mengabaikan kasus-kasus terkait wahaya dibanding menuntut para pelakunya.
Pada 1960, berdasarkan konstitusi baru Niger, perbudakan lagi-lagi dilarang di atas kertas, namun praktiknya terus dibiarkan.
Negara ini akhirnya mengambil langkah yang signifikan pada 2003 dengan secara formal mendefinisikan wahaya dan mengaturnya di bawah hukum pidana.
Menyusul putusan itu, Mani akhirnya mendapatkan kebebasannya pada 2005. Dia pergi dari tempat majikannya bersama dua anaknya dan dua rekannya sesama wahaya untuk hidup bebas.
Namun satu tahun kemudian, ketika dia menikah dengan suaminya, mantan majikannya menggugat Mani ke pengadilan atas tuduhan bigami dan mengklaim bahwa Mani masih menikah dengannya.
'Segitiga memalukan'
Mani dinyatakan bersalah atas bigami dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara, meski vonis itu akhirnya dibatalkan pada 2019.
Namun dia juga menggugat Pemerintah Niger melalui Pengadilan Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (Ecowas) yang berujung pada keputusan penting.
Hakim memutuskan bahwa Niger telah melanggar undang-undang anti-perbudakannya sendiri dengan tidak menghukum majikan yang memperbudaknya, dan telah gagal menegakkan tanggung jawab hukumnya untuk melindungi warganya.
Mani mendapat kompensasi USD20.000 (Rp312 juta) pada 2009 yang dibayar oleh pemerintah Niger.