JAKARTA - Majelis Hukum dan Ham (MHH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersama tujuh lembaga profesi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kini tengah digodok di Badan Legislasi DPR RI.
PP Muhammadiyah bersama 7 lembaga profesi tersebut menyampaikan 10 catatan kritisnya dalam menolak RUU Kesehatan tersebut.
Adapun ke-7 lembaga profesi itu antara lain Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Forum Peduli Kesehatan.
Berikut 10 poin catatan kritis penolakan RUU Kesehatan oleh PP Muhammadiyah dan 7 lembaga profesi lainnya:
1. Bahwa metode Omnibus dalam penyusunan RUU Kesehatan telah dipergunakan tanpa melibatkan peran aktif seluruh sektor yang terdampak pengautran, hal ini mengulang pola pengaturan dengan metode Omnibus baik dalam bentuk PerPu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maupun UU 4 Tahun 2023 tentang Penegembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Mengingat kerangka dari RUU tentang Kesehatan dibuat dengan pola Omnibus Law, mengabaikan partisipasi publik serta tidak bersifat partisipatif dan menyalahai prosedur pemebentukan perundang-undangan, maka dikhawatirkan berpotensi akan terjadi disharmoni dan konfliktual dengan tautran lain.
Baca juga: Resmi! Baleg Sepakat RUU Kesehatan Jadi Usul Inisiatif DPR
2. RUU tentang kesehatan merupakan bagian dari gerkaan global liberalisasi di bidang kesehatan ,sesuatu yang kalaupun dianggap sebagai hal yang tak dapat dihindari, tetap harus disikapi dengan berhati-hati dan tidak gegabah, agar tidak merugikan kepentingan bangsa, dan masyarakat selaku konsumen di bidang kesehatan.
Baca juga: Muhammadiyah Tetapkan Idul Fitri 2023 Jatuh pada Jumat 21 April
3. RUU tentang Kesehatan yang turut merubah UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menunjukkan penerapan metode Omnibus yang tidak tepat dan salah arah, pemberian kewenangan terbatas pada Kementerian di bidang pendidikan dan mengubah pola pengelolaan Jaminan Kesehatan semakin menunjukkan campur tangan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang kembali ingin mengendalikan sektor kesehatan agar dapat melepaskan industri kesehatan kepada mekanisme pasar. RUU tentang Kesehatan bisa memberikan dampak lanjut, antara lain dalam lingkup beralngsungnya praktik komodifikasi pendidikan sumberdaya manusia di bidang kesehatan di sekolah dan perguruan tinggi, tenaga kesehatan disiapkan untuk menjadi pekerja bagi pebisnis danperusahaan dalam logic industrialisasi kesehatan, dan sekaligus dialpakan dengan misi humanis-profetisnya saat menjalankan profesi di bidang kesehatan.