“Waktu tahun lalu, saya mempersiapkan tas darurat itu, saya merasa ‘Ah nggak mungkin, Rusia kan cuma gertak doang.’ Dari dulu juga seperti kan. Cuma sekarang saya lebih siap. Selain tas darurat, says siapin juga rencana buat relokasi kalau diperlukan gimana, saya siapkan semua dokumen atau apa-apa,” tambahnya.
Serangan di udara juga masih kerap terjadi. Untungnya, pemerintah masih menyediakan tempat mengungsi darurat sementara yang bisa dijadikan tempat berlindung bagi para warganya.
“Tapi biasanya sih penghuni apartemen saya ini, setiap ada ancaman serangan udara, yang tinggal (di) lantai atas itu pada turun ke bawah, terus kita udah siap(kan) kursi-kursi di lorong-lorong apartemen. Jadi (waktu sirene) bunyi, pada turun ke bawah dan pada duduk di situ sambil nunggu alarmnya berhenti,” jelasnya.
Tidak hanya menjalani hidup di tengah perang, sebagai upaya untuk memberitakan apa yang sesungguhnya terjadi di Ukraina langsung dari kacamata warga Indonesia di sana, Pepi memutuskan untuk membuat "Radio Ukraina" di Instagram dan YouTube.
Semua ini berawal dari berbagai pertanyaan seputar pemberitaan di media massa yang kerap berdatangan dari keluarga dan temannya di Indonesia.
“Mereka tanya, ‘Ini bener nggak?’ ‘Itu betul nggak?’ Terus saya lihat, ‘Kok begini amat gitu judulnya’ dan nggak sesuai dengan yang saya lihat di sini. Terus saya telusuri-telusuri, ternyata memang mereka mengambil sumber itu kebanyakan dari media massa Rusia dan pemerintah Rusia,” ungkapnya.
Pepi mengaku melakukan ini bukan untuk Ukraina, melainkan untuk warga Indonesia yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, siapa yang menyangka jika usahanya ini malah mendatangkan berbagai komentar yang negatif dan membuatnya sedih.
T