SEBUAH desa bernama Kampung Gempol yang saat ini dikenal sebagai Kampung Tambun Sungai Angke di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, jadi saksi bisu pembantaian Belanda di negeri yang dahulunya bernama Hindia Belanda.
Dalam buku ‘Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tangerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan RI’ yang diterbitkan Disjarah Kodam V/Jaya, peristiwa ini terjadi pada 16 Desember 1948.
Jumlah korbannya belum ada penghitungan resmi. Hanya dari berbagai sumber, disebutkan jumlahnya mencapai 150-200 orang karena terjadi tidak hanya sehari. Melainkan hingga dua pekan.
Pada 2016, Okezone pernah menemui salah satu saksi hidup yang juga keluarga korban, HJ Paisyah serta cucunya Syaifulloh. Beragam cerita mengerikan terungkap.
Tidak hanya mengenai ayah Paisyah yang ditembak mati di bawah ‘bale’, tapi juga kisah seorang anak baru gede (ABG) berusia sekitar 14 tahun yang perutnya disabet kelewang oleh Belanda hingga ususnya terburai.
Dengan mata yang masih berkaca-kaca usai menceritakan ketika ayahnya ditembak mati serdadu Belanda yang disebutnya NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Paisyah juga mengisahkan detik-detik Solih dibantai seorang serdadu berkulit hitam, hidung mancung dan berpostur tinggi besar bernama Tuan Pana.
“Itu namanya Solih, sebenarnya dia keponakan tokoh (masyarakat) sini, Engkong Kopang. Tapi dijadiin anak angkat. Pas bapak (angkatnya) itu mau ditembak, dia ngerangkul terus di kaki bapaknya,” ungkap Paisyah berkisah.
Solih yang sempat disergah dan dilempar menjauh oleh tentara Belanda lainnya, terus mendekati ayah angkatnya yang dituduh memberikan tempat singgah bagi beberapa anggota Laskar Hisbullah pimpinan KH Noer Ali. Setelah beberapa kali merangkul ayahnya lagi, datang seorang serdadu bersyal merah yang disebutkan Paisyah bernama Tuan Pana.
“Habis dicegah tentara Belanda yang lain, datang deh itu komandannya pake syal merah, Tuan Pana. Langsung disabet itu perutnya si Solih sampai ususnya ke mana-mana,” ungkapnya.