NEW YORK – Amerika Serikat (AS) mendesak Serbia untuk menarik apa yang dikatakannya sebagai pembangunan militer besar-besaran di perbatasan negaranya dengan Kosovo.
Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan meningkat antara etnis minoritas Serbia di Kosovo dan komunitas mayoritas Albania.
Merespons situasi saat ini”, Inggris mengatakan pihaknya mengirim pasukan untuk bergabung dengan pasukan penjaga perdamaian Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di sana.
Aliansi militer mengatakan pihaknya siap menambah pasukannya menyusul pertikaian di sebuah biara di utara pada Minggu (24/9/2023) lalu yang menewaskan empat orang.
Saat berbicara pada Jumat (29/9/2023), juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby menggambarkan pengerahan militer dalam jumlah besar berupa tank dan artileri canggih sebagai perkembangan yang sangat mengganggu stabilitas.
"Ini mengkhawatirkan. Tampaknya bukan hanya sekelompok orang yang berkumpul untuk melakukan hal ini," terangnya.
“Kami menyerukan Serbia untuk menarik pasukannya dari perbatasan,” lanjutnya.
Kirby mengatakan penambahan pasukan telah terjadi dalam seminggu terakhir, namun tujuannya belum jelas.
Dia menambahkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah menelepon Presiden Serbia Aleksandar Vucic untuk mendesak "deeskalasi segera dan kembalinya dialog".
Kirby juga mengatakan bahwa Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan berbicara dengan Perdana Menteri (PM) Kosovo, Albin Kurti.
Vucic tidak secara langsung menyangkal adanya penambahan pasukan baru-baru ini, namun menolak klaim bahwa pasukan negaranya dalam keadaan siaga.
“Saya membantah kebohongan yang menyebutkan tingkat kesiapan tempur tertinggi pasukan kami, karena saya tidak menandatanganinya dan hal itu tidak akurat,” terang Vucic.
“Kami bahkan tidak memiliki separuh pasukan yang kami miliki dua atau tiga bulan lalu,” lanjutnya.
Ketegangan antara kedua negara meningkat pada Minggu (24/9/2023) setelah seorang polisi Kosovo dan tiga pria bersenjata etnis Serbia tewas dalam pengepungan sebuah biara Ortodoks Serbia di desa Banjska pada Minggu (24/9/2023).
Pemerintah Kosovo menuduh pemerintah Serbia mendukung insiden tersebut.
Pada Jumat 929/9/2023), Milan Radoicic, Wakil Presiden Serbia List, partai politik utama Kosovo-Serbia, mengundurkan diri setelah mengaku mengorganisir kelompok bersenjata tersebut. Namun, dia membantah menerima bantuan apa pun dari Beograd.
Bentrokan mematikan itu menandai salah satu eskalasi paling parah di Kosovo selama bertahun-tahun. Bentrokan ini juga terjadi setelah berbulan-bulan ketegangan yang meningkat antara kedua belah pihak.
Setelah pecahnya Yugoslavia pada 1990-an, Kosovo yang tercatat sebagai provinsi di bekas negara tersebut terus mencari kemerdekaan.
Serbia menanggapinya dengan tindakan keras brutal terhadap etnis Albania.
Hal ini berakhir pada 1999 dengan kampanye pengeboman NATO terhadap Serbia, antara Maret dan Juni.
Pasukan Serbia menarik diri dari Kosovo. Namun bagi sebagian besar warga Albania dan Serbia Kosovo, konflik tersebut tidak pernah terselesaikan.
Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya pada 2008. Namun Serbia bersama dengan sekutu utama Beograd, Tiongkok dan Rusia, tidak mengakuinya.
Banyak orang Serbia menganggapnya sebagai tempat kelahiran bangsa mereka. Namun dari 1,8 juta orang yang tinggal di Kosovo, 92% adalah etnis Albania dan hanya 6% adalah etnis Serbia.
Ketika ketegangan terus meningkat, Ketua NATO Jens Stoltenberg mengatakan pada Kamis (28/9/2023) bahwa ia telah "memberi wewenang pasukan tambahan untuk mengatasi situasi saat ini".
Ini adalah kedua kalinya dalam tiga bulan NATO memperkuat pasukannya di negara tersebut.
Saat ini terdapat sekitar 4.500 personel Pasukan Kosovo (KFor) pimpinan NATO yang ditempatkan di negara tersebut.
Pada Jumat (29/9/2023), Kementerian Pertahanan Inggris (MoD) mengatakan telah menyediakan satu batalion yang terdiri dari 500 hingga 650 tentara untuk KFor.
Kementerian Pertahanan mengatakan pasukan tersebut baru saja tiba di wilayah tersebut untuk melakukan latihan yang telah direncanakan sejak lama.
(Susi Susanti)