GAZA – Ribuan mil jauhnya dari kebrutalan perang Israel dan Hamas di Gaza, Tariq Hamouda dan istrinya Manal tidak percaya atas hilangnya tiga generasi keluarga mereka.
Warga Amerika keturunan Palestina, yang tinggal di Maple Grove, Minnesota, mengatakan sudah lebih dari seminggu sejak mereka mengetahui bahwa 42 kerabat mereka terbunuh dalam perang yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, dan mereka masih belum dapat sepenuhnya memahami berita tersebut.
Hamouda mengatakan istrinya, yang bernama gadis Saqallah, kehilangan empat saudara laki-laki, seorang saudara perempuan dan sebagian besar anak-anak mereka ketika dua ledakan menghancurkan kompleks keluarga Saqallah pada 19 Oktober di lingkungan Sheikh Ejleen di Kota Gaza.
Hamouda dan keluarganya mengatakan itu adalah serangan udara Israel. Israel telah melancarkan sejumlah serangan udara di Kota Gaza sejak 7 Oktober lalu, termasuk beberapa serangan di wilayah tersebut pada hari itu.
CNN tidak dapat memastikan secara independen bahwa serangan tersebut merupakan serangan Israel. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan mereka tidak dapat memberikan komentar tanpa koordinat rumah tersebut. Keluarga tersebut menolak memberikan koordinat kepada CNN karena takut akan pembalasan.
Sebuah video yang diambil oleh seorang tetangga dan diberikan kepada CNN menunjukkan apa yang tersisa dari kompleks keluarga. Yakni reruntuhan dan puing-puing yang hangus, yang menurut kerabat dulunya adalah tiga bangunan, kini dikelilingi oleh rumah-rumah yang hampir tak tersentuh di kawasan pemukiman.
“Sampai tadi malam, dia masih menyangkal [apa yang terjadi],” kata Hamouda kepada CNN pada Kamis (26/10/2023), merujuk pada Manal. Namun kesedihan yang dirasakan di rumah mereka di Midwestern sangatlah nyata.
“Dia mencintai setiap anggota keluarganya. Dia menghabiskan musim panas bersama mereka,” jelas Hamouda, yang mengatakan bahwa dia dan istrinya berasal dari lingkungan yang sama di Gaza namun telah tinggal di Minnesota sejak 2004.
Dia mengatakan ada ketakutan dan banyak konflik antara Israel dan kelompok militan di Gaza sejak saat itu, namun tidak seperti ini.
Israel menyatakan perang terhadap Hamas pada 7 Oktober, setelah kelompok militan tersebut menerobos penghalang yang memisahkan Gaza dari Israel dan membunuh lebih dari 1.400 orang, termasuk warga sipil dan personel militer, serta menculik lebih dari 220 lainnya, menurut pihak berwenang Israel.
Sebagai tanggapan, Israel melancarkan serangan udara yang menghancurkan di Gaza. Mereka menyatakan ingin menghancurkan Hamas, yang menguasai wilayah pesisir. Namun 2,2 juta warga Palestina yang tinggal di sana, yang tidak dapat melarikan diri karena penyeberangan perbatasan Israel dan Mesir yang tertutup, terjebak dalam baku tembak.
Serangan udara Israel telah menewaskan sedikitnya 8.485 warga Palestina dan melukai lebih dari 21.000 lainnya, menurut angka terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina di Ramallah, yang diambil dari sumber di daerah kantong yang dikuasai Hamas. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan sebanyak 1,4 juta orang lainnya menjadi pengungsi internal, setelah IDF memperingatkan penduduk di Gaza utara untuk pindah ke selatan.
Tapi Hamouda tidak punya waktu untuk berduka atas kematian mereka, katanya, karena dia masih khawatir tentang apa yang akan terjadi pada mereka yang sejauh ini selamat.
Di Florida Selatan, sepupu Manal, Eyad Abu Shaban, juga mengalami kesedihan yang sama. “Sepertinya seluruh duniamu berhenti,” katanya.
“Bukan hanya satu, dua, tiga, atau empat – ini adalah 42 anggota, sangat sulit untuk mengatasinya,” lanjutnya.
Abu Shaban mengatakan usia korban berkisar antara tiga bulan hingga 77 tahun. Mereka semua tinggal di satu kompleks. Pamannya, Essam Abu Shaban, istrinya Layla Saqallah dan putra mereka Ahmed termasuk di antara mereka yang tewas.
Shaban mengatakan, untuk menghindari serangan udara Israel, mereka telah mengevakuasi lingkungan sekitar Tel El Hawa dan mencari perlindungan di rumah Saqallah.
Mengutip anggota keluarga yang masih hidup, Hamouda mengatakan jika sebelum serangan udara terjadi, IDF menelepon untuk mengatakan mungkin ada aktivitas militer di daerah tersebut, namun mereka tidak pernah diberitahu untuk meninggalkan rumah mereka.
“Mereka telah mengebom rumah-rumah dengan peringatan dan tanpa peringatan,” katanya, sambil meratapi banyaknya ketakutan, kebingungan dan tidak ada tujuan.
Ibu mertuanya sedang berada di balkon ketika serangan pertama terjadi, kata Hamouda. Dia berhasil melarikan diri dengan bantuan seorang kerabatnya yang juga selamat.
Serangan kedua benar-benar menghancurkan kompleks tersebut, menewaskan puluhan kerabatnya.
Sebuah video yang diambil oleh anggota keluarga yang selamat dan diberikan kepada CNN menunjukkan banyak jenazah – yang dibungkus dengan kain kafan putih – ditempatkan di kuburan massal.
“Ibu mertua saya mengatakan anak-anaknya mencoba mengungsi, tapi mereka tidak punya waktu,” kata Hamouda, seraya menambahkan bahwa keluarganya tidak terlibat dalam aktivitas militan dan mereka “tidak ada hubungannya sama sekali.”
Abu Shaban, seorang pengembang real estat Boca Raton, mengatakan bahwa keluarga tersebut hanyalah warga sipil, dan banyak profesional medis di antara mereka.
Dari empat saudara laki-laki Manal – Saed, Omar, Ameed dan Khorsheed – tiga di antaranya adalah dokter mata. Sedangkan yang lainnya adalah dokter THT. Hamouda mengatakan mereka mengoperasikan jaringan klinik mata milik keluarga terbesar di Gaza.
“Kami tidak memiliki anggota Hamas [di keluarga kami]. Mereka hanyalah orang-orang biasa: dokter, nenek, kakek, paman, bibi, dan anak-anak,” kata Abu Shaban.
“Maksud saya, jika Anda ingin memusnahkan Hamas maka Anda harus mencari sumbernya,” tambahnya.
(Susi Susanti)