BLITAR – Pada masa kerajaan Mataram Islam hingga kolonial Belanda, hutan Lodoyo yang berada di wilayah Kabupaten Blitar Jawa Timur dikenal sebagai kerajaan harimau.
Selain kesohor dengan harimaunya yang besar-besar, cerita tutur yang berkembang di masyarakat, di hutan Lodoyo Blitar juga berkeliaran harimau jadi-jadian alias harimau siluman atau macan gadungan.
Dalam buku Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021), munculnya cerita harimau jadi-jadian di hutan Lodoyo Blitar berawal dari peristiwa pembuangan penggawa atau punggawa Suroloyo.
Punggawa yang dimaksud adalah Pangeran Prabu, putra Pakubuwono I (1704-1719), Raja Mataram Islam ke-7 yang dibuang ke hutan Lodoyo lantaran ketahuan berniat merebut tahta kerajaan.
Penamaan Lodoyo sendiri merujuk adanya sejumlah pohon elo atau ara (Ficus Carica) yang berposisi doyong atau condong. Berangkat dari penyebutan elo doyong lantas berubah menjadi Lodoyo.
Di hutan Lodoyo, Pangeran Prabu tidak sendiri menjalani hukuman. Ia ditemani Putri Wandansari, istrinya dan Ki Amat Tariman, tangan kanannya. Kemudian juga berbekal pusaka gong atau bende Kiai Pradah serta wayang kesayangannya.
Hingga kini gong Kiai Pradah dan wayang masih tersimpan dengan baik. Setiap awal bulan Suro (penanggalan Jawa) atau tahun baru Islam, pemerintah Kabupaten Blitar menggelar ritual penjamasan.
Pusaka gong kiai Pradah memiliki khasiat yang ajaib. Setiap ditabuh, gema yang terpancar mampu memanggil harimau. Versi lain menyebut untuk mengusir harimau.