Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 Secara TSM, Pola Lama Berulang Lagi ?

Indra Yosse, Jurnalis
Kamis 15 Februari 2024 11:56 WIB
Penggiat Pemilu, Nurhamin (Foto: Indra Yosse)
Share :

PEKANBARU - Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang berlangsung pada 14 Februari diduga ada kecurangan yang dilakukan petugas pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Hal tersebut disampaikan penggiat Pemilu, Nurhamin saat diwawancarai ekslusif oleh wartawan MNC Media di Pekanbaru, Riau, Rabu (14/2/2024). 

Nurhaimin mengatakan, ada dugaan kecurangan Pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang diduga dilakukan petugas TPS untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sejumlah kejanggalan yang dialaminya, kata Nurhaimin, mulai dari formulir model C6, yang merupakan Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara kepada pemilih. Ini persoalan teknis.

Ada dua sistem di situ. Pertama online, kedua bisa langsung diantar C6-nya. Muhaimin pun melakukan pengecekan berapa yang tidak mendapat C6. Dari lima TPS yang di kawasannya di daerah Pekanbaru, ternyata marginnya antara 78 sampai 100 pemilih per TPS.

"Sehingga saya paham betul, biasanya diantar, RT atau RS. Semua tahu rumah saya di sini. Itu tidak ada konfirmasi tiba-tiba dilempar ke kelurahan," ujarnya.

Saat pencoblosan, dirinya pun datang ke TPS. Di sana melihat yang disebutnya ada dua polarisasi. Pertama, petugas PPS mengatakan yang bawa KTP itu boleh mencoblos pukul 11.00. Itu kan DPK atau Daftar Pemilih Khusus.

Pihaknya pun berkomunikasi karena merasa mengetahui aturan di TPS dengan pengalaman yang dimiliki.

"Nah, ini ketua KPPS-nya datang kembali ke saya, ada yang menyuruh dari kelurahan, saya katakan kelurahan itu ada dua, petugas lurah atau petugas PPS, satu lagi mantan petugas PPS? yang satu mengatakan petugas kelurahan, satu lagi mengatakan petugas PPS, ada juga mantan petugas PPS," tuturnya.

Ia pun meyakini kejanggalan itu karena menduga adanya agenda setting dengan pengalamannya menjadi petugas pemilu. Dugaannya, pertama adalah situasi akan krodit pada pukul 11-12.00. Kedua, orang yang awalnya sudah datang dan ada di DPT itu lelah dan tidak akan datang kembali.

"Kok kejadian lama berulang lagi," katanya.

Bahkan, menurutnya, kejadian ini diakui seorang mantan PPS, bahwa memang saat ini berbeda. "Mantan PPS itu mengatakan, hari ini berbeda, saya juga bingung kenapa ada DPTb, dulu kan DPTb dihapuskan karena sudah sistem coklit yang online semua," tuturnya.

Hal tersebut menandakan terjadi miss persepsi di antara PPS yang ia duga merupakan agenda setting di tingkat pusat. Sehingga kebijakan yang diambil membingunkan petugas yang adhoc. Apalagi, ia menduga petugas tersebut dengan Bimtek yang dilakukan singkat tak memahami detail.

"Pada 2004, 2009, atau 2014 itu kejadian, nanti akan kita cek lagi. Maka, orang yang lelah tidak datang lagi. Dan harus hati-hati saat habis jam pemungutan suara," tuturnya.

Kemudian, surat suara tidak terpakai apakah linear dengan yang diabsen dan DPK. Sebab, DPK akan digabungkan dengan DPT yang C6 itu yang akan ditarik oleh PPS kelurahan.

"Sehingga mereka tidak bisa membedakan masyarakat yang DPT dan DPK. Disitulah terjadi krodit yang tidak bisa diadministrasikan oleh KPPS," ujarnya.

Menurutnya, di sini terjadi pola lama. Pihaknya mengaku mengungkap hal tersebut karena ingin adanya Pemilu yang berintegritas. "Saya patut menduga ini sudah TSM, terstruktur, sistematis dan masif," ujarnya.

Ia juga menduga bahwa petugas-petugas tersebut mendapat intimidasi. Untuk itu, pihaknya menegaskan, semuanya akan difaktakan di Mahkamah Konstitusi (MK).

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya