GAZA – Meski berita mengenai Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden segera melakukan gencatan senjata antara Israel dan Gaza memunculkan harapan, namun banyak orang di Jalur Gaza tidak bisa memikirkan selain sarapan bersama.
“Sebelum perang kami biasa membeli roti, sekarang kami harus membuatnya,” kata jurnalis berusia 26 tahun Aseel Mousa.
BBC menghabiskan hari itu dengan mengikuti kehidupan orang-orang di Gaza. Saat mereka menjelajahi pasar untuk mencari makanan, bekerja di rumah sakit yang penuh sesak, dan berusaha menghibur anak-anak mereka.
Ada kalanya tim BBC tidak mendengar kabar dari kontak rekanan kerja karena pesan di WhatsApp belum tentu dibaca dan panggilan telepon masuk ke pesan suara.
Pada pukul 05:00, di Rafah, Sami Abu Omar, 59 tahun, bangun pagi setelah malam yang berat.
“Siapa pun yang berada dalam situasi ini harus membiasakan diri untuk tidur selama satu hingga satu setengah jam saja,” katanya, menggambarkan suara bom.
Setelah keluar dari tendanya, dia berdoa dan kemudian menuju ke pusat distribusi, di mana dia akan menyajikan sup miju-miju kepada keluarga pengungsi.
Pada pukul 07:00. di pusat kota Deir al-Balah, perawat Rewaa Mohsen mengganti popok kedua putrinya yang masih kecil. Salah satunya adalah seorang bayi yang baru lahir dua hari sebelum perang.
Dia mengatakan setiap hari dia menjalani rutinitas yang sama, yaitu berusaha bertahan hidup dan merawat anak-anaknya. Setelah mengganti popok mereka, dia menyiapkan sarapan.
Di tempat lain di Deir al-Balah, mahasiswa kedokteran berusia 22 tahun dan dokter sukarelawan Nagham Mezied mengambil foto sarapannya pada pukul 09.00.
Dia biasanya makan pada pukul 06.00, namun baru-baru ini dia menundanya untuk mencoba mencegah rasa lapar di kemudian hari. Hidangan pagi ini disebut Mankouche yakni keju, bumbu merica, dan minyak zaitun di atas roti.
“Hanya ini yang aku makan sampai malam, jika kita beruntung bisa makan lagi, kalau tidak, ini semua sampai besok,” terangnya.
Lalu pukul 09:30, seorang pengacara Mosa Aldous sedang berjalan di Rafah setelah malam yang gelisah di tendanya. "Dingin sekali," katanya.
Dia bisa melihat antrian panjang untuk mendapatkan makanan dan air, namun perhatiannya pagi ini adalah mencari koneksi internet.
“Sekarang saya berada dua kilometer jauhnya dari tenda saya, mencoba mencari sinyal tetapi masih sangat lemah. Saya perlahan-lahan berjalan menjauh dari tenda,” katanya.
Pada pukul 11:00, jurnalis Aseel Mousa juga berada di Rafah, tapi di sebuah flat. Dia "memanfaatkan kesempatan" untuk melakukan beberapa pekerjaan di pagi hari setelah mengetahui bahwa dia memiliki listrik dan koneksi internet.
Kini, dia sedang dalam proses membuat roti bersama ibunya. “Kami mengambil kayu, menyalakan api, membuat adonan, membaginya menjadi beberapa bagian, membiarkannya mengembang. Ini yang kami lakukan sekarang. Prosesnya setidaknya memakan waktu tiga jam,” ujarnya.
(Susi Susanti)