Menurut UNRWA, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pengungsi Palestina, seluruh 36 tempat penampungannya di kawasan Rafah kosong setelah warga terpaksa mengungsi.
1,7 juta orang lainnya diperkirakan mengungsi di Khan Younis dan sebagian Gaza tengah.
Namun pada Sabtu (1/6/2024), dua menteri sayap kanan Israel mengancam akan mundur dan meruntuhkan koalisi pemerintahan negara itu jika Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menyetujui kesepakatan tersebut.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengatakan mereka menentang kesepakatan apa pun sebelum Hamas dihancurkan.
Netanyahu juga menegaskan bahwa tidak akan ada gencatan senjata sampai kemampuan militer dan pemerintahan Hamas dihancurkan dan semua sandera dibebaskan.
Hanoch Milwidsky, anggota senior Knesset dari Partai Likud Netanyahu, mengatakan kepada BBC pada Minggu (2/6/2024) bahwa koalisi pemerintahan Israel bersatu dalam menentang perjanjian tersebut, yang ia sebut sama sekali tidak dapat diterima.
“Perhitungan pemerintah Israel tidak berubah, itu berarti Hamas tidak bisa lagi memerintah Gaza, tidak bisa lagi memiliki kemampuan apa pun, baik militer maupun kemampuan sipil untuk berkuasa, dan semua sandera harus kembali,” kata Milwidsky.
“Perang tidak akan berhenti sampai tuntutan ini dipenuhi,” lanjutnya.
Kirby, pada gilirannya, mengatakan bahwa intelijen AS sekarang percaya bahwa Hamas telah terdegradasi secara militer sehingga mereka tidak dapat lagi mengulangi serangan seperti yang dilakukan para pejuangnya pada tanggal 7 Oktober.
“Kami tidak mengatakan bahwa mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi rakyat Israel. Tentu saja mereka mewakili ancaman tersebut,” ujarnya.
“Tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan militer untuk melakukan apa yang mereka lakukan,” ungkapnya.
(Susi Susanti)