JAKARTA - Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia yang juga Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraeni Pencatutan data pendukung merupakan masalah yang selalu berulang dari pilkada ke pilkada.
Bahkan kasus serupa juga terjadi dalam proses verifikasi parpol peserta pemilu 2024 yang lalu.
"Hal itu terjadi dalam rangka memenuhi persyaratan pencalonan yang berat, rumit, dan kompleks. Dimungkinkan terjadi karena maraknya kebocoran data akibat pengelolaan dan perlindungan data pribadi yang amat buruk," katanya.
Namun, katanya, apabila trennya amat masif, besar kemungkinan hal itu melibatkan pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengakses data.
Oleh karena itu, isu pencatutan ini harus diproses serius oleh Bawaslu dan aparat penegak hukum menggunakan UU Pilakda dan UU Perlindungan Data Pribadi serta UU ITE.
"Dukungan yang merupakan data hasil pencatutan adalah tidak sah. Selain tidak benar hal itu juga membuktikan ada masalah dalam verifikasi yang dilakukan sebab tidak mampu mengidentifikasi kebenaran dukungan calon perseorangan," katanya.
Sebagai informasi, UU Pilkada mengatur bahwa manipulasi dukungan bagi calon perseorangan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pasal 185 UU 8 Tahun 2015
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung pasangan calon perseorangan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, dan calon Walikota dan calon Wakil Walikota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 185A UU 10 Tahun 2016
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).**
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.
Sehingga bagi masyarakat yang menemukan datanya dicatut oleh pasangan calon dan tidak diverifikasi faktual dalam proses pencalonan, diharapkan bisa melaporkan hal tersebut ke Bawaslu daerah terdekat. Sebaiknya pelaporan langsung ke Bawaslu Provinsi bagi pencalonan gubernur dan Bawaslu Kabupaten/Kota bagi pencalonan bupati/walikota di daerahnya.
Selain itu, Bawaslu sesuai tingkatannya juga dominta proaktif. Tidak perlu menunggu masuknya laporan untuk menmproses adanya indikasi atau temuan atas dugaan pencatutan syarat dukungan calon perseorangan.
(Khafid Mardiyansyah)