JAKARTA - Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD mencuat dan menjadi perbincangan publik. Dari hasil survei yang dilakukan LSI Denny JA didapati wacana yang bertujuan untuk efisiensi biaya malah memunculkan sentimen yang sangat negatif.
Sentimen tersebut terekam lewat aplikasi yang membaca percakapan di media sosial dan media online di internet. Analisis isi komputasional menggunakan alat “LSI Internet” untuk mendeteksi topik dan sentimen publik.
Informasi dikumpulkan dari berbagai platform digital seperti media sosial, berita online, blog, forum, video, hingga podcast. Sentimen yang dikaji hanya yang positif dan negatif, tanpa memasukkan sentimen netral.
Hasilnya dari 1.898 percakapan yang dianalisis, sebanyak 76,3 persen menunjukkan penolakan. Publik khawatir transparansi akan menjadi korban, sementara politik transaksional di DPRD akan meningkat. Adapun yang mendukung wacana tersebut hanya 23,7 persen dengan alasan efisiensi biaya.
"Tetapi demokrasi bukan sekadar soal efisiensi, ia adalah investasi dalam legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan rakyat," ujar peneliti LSI Denny Ja, Adjie Alfaraby, dalam keterangan persnya, Rabu (15/1/2025).
Adjie menilai, solusi dalam memperbaiki pilkada justru tetap dengan pemilihan langsung oleh rakyat, dengan setiap partai dibolehkan mencalonkan kepala daerah. Dengan menerapkan model tanpa ambang batas dalam pilkada dapat membawa banyak manfaat yang nyata. Sebab, demokrasi lokal akan semakin kuat karena rakyat diberikan lebih banyak pilihan yang akan menjadi pemimpinnya.
"Politik transaksional, yang selama ini menjadi batu sandungan, dapat dihindari. Pemimpin baru dengan visi segar dapat muncul dan membawa perubahan yang relevan dengan kebutuhan lokal," imbuhnya.