JAKARTA - Amerika Serikat (AS) telah lama menjadi sekutu terkuat Israel, memberikan dukungan diplomatik, militer, dan ekonomi yang besar sejak negara itu didirikan pada 1948. Dalam berbagai forum internasional, Washington sering kali membela Israel dari kecaman dunia, bahkan memveto resolusi PBB yang mengkritik kebijakan Israel terhadap Palestina.
Namun, mengapa AS tetap setia mendukung Israel meskipun menghadapi kritik keras dari masyarakat internasional dan bahkan dari sebagian warga negaranya sendiri?
Mantan Presiden AS Harry Truman adalah pemimpin dunia pertama yang mengakui Israel hanya 11 menit setelah negara itu mendeklarasikan kemerdekaannya. Keputusan ini bukan hanya karena faktor moral atau sejarah, tetapi juga karena pertimbangan strategis. Truman mendapat dorongan dari mantan mitra bisnisnya, Edward Jacobson, yang memiliki hubungan erat dengan para pemimpin Zionis. Namun, di luar faktor personal, AS melihat Israel sebagai sekutu potensial dalam persaingan geopolitik global, terutama ketika Perang Dingin mulai terbentuk antara AS dan Uni Soviet.
Pasca-Perang Dunia II, Timur Tengah menjadi medan pertempuran utama bagi kekuatan-kekuatan besar dunia karena cadangan minyaknya yang melimpah serta jalur perairan strategis seperti Terusan Suez. Uni Soviet mulai memperluas pengaruhnya di kawasan ini dengan mendukung negara-negara Arab seperti Mesir dan Suriah. Sementara itu, AS berusaha membangun aliansi dengan negara-negara yang bisa menjadi penyeimbang dominasi Soviet. Dalam konteks ini, Israel menjadi aset penting bagi AS sebagai kekuatan militer yang tangguh di kawasan.
Namun, hubungan AS-Israel tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, selama Perang Yom Kippur 1973, AS sempat mempertimbangkan posisinya sebelum akhirnya memberikan bantuan besar-besaran kepada Israel. Kemenangan Israel dalam perang ini justru digunakan AS untuk memperlemah pengaruh Soviet dan merancang kesepakatan damai antara Israel dan Mesir, yang disahkan pada 1979. Kesepakatan ini menjadikan Mesir negara Arab pertama yang mengakui Israel, sekaligus mengamankan kepentingan AS di kawasan.