JAKARTA - Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Hal ini diputuskan dalam forum rapat paripurna ke-13 masa sidang II yang digelar pada Selasa 18 Februari 2025 lalu.
Sejumlah poin dalam RUU KUHAP menjadi perhatian. Seperti kontroversi kewenangan jaksa yang terlalu luas dalam proses penyidikan, dan dihilangkannya proses penyelidikan dalam menentukan sebuah perkara tindak pidana beberapa hal yang perlu kajian mendalam dan perlu dievaluasi.
Menanggapi hal itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengatakan, sebaiknya Kejaksaan tetap pada fungsinya melakukan penuntutan dalam RUU KUHAP. Sehingga, kata dia, Kepolisian juga tugasnya tetap melakukan penyidikan seperti yang berjalan selama ini.
Sebenarnya, kata Jimly, Kejaksaan itu atas nama negara merupakan pemilik perkara atau pemegang perkara yang dikenal dengan istilah dominus litis seperti di beberapa negara dunia. Akan tetapi, saat ini ada beberapa yang diatur khusus seperti perkara tindak pidana korupsi itu dibuat tersendiri oleh KPK di Indonesia.
“Jadi dua-duanya bisa, KPK bisa, Kejaksaan bisa. Tapi KPK dibatasi yang di atas Rp1 miliar, misalnya gitu,” kata Jimly saat dihubungi wartawan, Rabu (12/3/2025).
Selain itu, Jimly mengatakan, jaksa secara umum merupakan penuntut umum sampai melakukan eksekusi. Sedangkan, penyidikan itu dilakukan oleh Kepolisian dan penyidik lainnya yang disebut sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Saat ini, Jimly menyebut jumlah PPNS sudah banyak sekali sekitar 56 PPNS. Rencananya, akan ditambah 1 lagi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Jadi jaksa secara umum dia penuntut sampai eksekusi. Polisi dan penyidik lainnya, itu jumlahnya 56 instansi yang namanya PPNS banyak sekali. Selama ini enggak efektif karena semua dikoordinasi oleh kepolisian. Jadi enggak efektif, karena disidik ulang. Ya sudah koordinasinya langsung ke kejaksaan aja, kan dia yang memiliki perkara,” jelasnya.