Bencana Pendidikan Dimulai dari Rumah Ketika Orangtua Ajari Anak Curang

Angkasa Yudhistira, Jurnalis
Jum'at 02 Mei 2025 15:18 WIB
Bencana Pendidikan Dimulai dari Rumah Ketika Orangtua Ajari Anak Curang (Foto : Istimewa)
Share :

JAKARTA - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seharusnya menjadi titik balik: bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan ruang kontemplasi mendalam terhadap arah moral dan martabat pendidikan kita. Namun ironi kembali terulang tahun ini, gaung Hari Pendidikan Nasional nyaris tenggelam oleh satu kenyataan pahit: masifnya kecurangan dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). 

Di tengah sistem pengamanan digital paling mutakhir - biometrik, pelacakan lokasi, pengacak soal- kecurangan tetap lolos. Dan lebih memilukan, banyak dari itu bukan karena kecerdikan siswa, melainkan karena konspirasi diam-diam para orangtua.

Lantas, apa yang sebenarnya sedang kita wariskan kepada generasi muda? Bukan sekadar krisis akademik. Associate Professor Program Vokasi UI Devie Rahmawati mengatakan, hal tersebut adalah gempa moral yang mengguncang akar budaya pengasuhan.

“Budaya parenting kita hari ini adalah bencana. Peneliti Kay Hymowitz dari Institute for Family Studies menyebut, orang tua modern begitu terobsesi pada hasil—ranking, gelar, seleksi masuk PTN—hingga lupa bahwa pendidikan sejati adalah tentang karakter dan kejujuran. Anak-anak didorong untuk menang, bukan untuk benar. Mereka diajarkan cerdas, bukan jujur,” ujarnya seperti dikutip, Jumat (2/5/2025).

“Ada korelasi kuat antara gaya pengasuhan permisif dan berkembangnya perilaku tidak jujur di kalangan remaja. Bencana ini bukan hanya milik Indonesia. Studi Pew Research Center (2024) mencatat bahwa 77% orang tua di AS mengakui mereka membesarkan anak dengan cara yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Nilai-nilai seperti kerja keras, hormat, dan kejujuran mulai digantikan ambisi, kecepatan, dan pencitraan. Lebih dari 60% orang tua bahkan menyatakan anak-anak kini tumbuh menjadi lebih tidak jujur, tidak hormat, dan malas dibanding generasi mereka dulu.Tsunami perubahan ini menghantam lintas benua. Dan gelombangnya dimulai dari rumah,” tuturnya.

Dalam makalah Dishonesty: From Parents to Children (2019), Devie menjelaskan, anak-anak belajar kebohongan pertama mereka bukan dari media sosial atau teman sebaya, melainkan dari orang tuanya sendiri. Ketika seorang ayah memaksa anak belajar keras, tapi diam-diam membayar joki UTBK; ketika ibu mengeluh anak tidak sopan, padahal ia sendiri memaki guru di depan anak—nilai apa yang sedang mereka tanam?

“Kita bukan hanya outsourcing waktu kita sebagai orang tua, tapi juga outsourcing empati, nilai, dan tanggung jawab. Orang tua hari ini seperti CEO yang menyerahkan fungsi pengasuhan pada aplikasi, guru les, dan konsultan,” ujar Devie.

Namun di tengah kegaduhan moral tersebut, masih ada cahaya kecil. SMA Kemala Taruna Bhayangkara memilih arah yang berbeda. Guru Besar UNISULA dan Ketua Yayasan Kemala Taruna Bhayangkara Dedi Prasetyo mengatakan, pihaknya tidak hanya menilai kemampuan akademik siswa.

"Tetapi juga komitmen keluarga terhadap pendidikan karakter. Karena kami percaya anak bukan dibentuk oleh sekolah saja, tetapi oleh ekosistem rumah," ujarnya. 

 

Salah satu elemen kunci dalam seleksi masuk sekolah ini adalah wawancara orang tua. “Ini bukan formalitas. Kami ingin tahu nilai apa yang hidup di rumah? Apakah orang tua siap menjadi mitra sekolah, bukan hanya penonton di tribun?” ujar Dedi.

Temuan tersebut, sambungnya, sejalan dengan riset Edutopia (2023) dan Ramagya School (2024), yang menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua secara aktif dalam proses pendidikan terutama melalui wawancara keluarga dapat meningkatkan keadilan, pemahaman lintas budaya, dan keberhasilan akademik jangka panjang.

“Sekolah bukan tempat penitipan anak. Pendidikan tidak bisa berjalan satu arah. Karakter tidak diajarkan lewat soal try out. Ia tumbuh lewat teladan sehari-hari,” imbuhnya.

Maka, pada Hari Pendidikan Nasional ini, kata dia, para orangtua perlu berhenti sejenak. Bertanya dengan jujur apakah sedang membesarkan generasi pembelajar sejati, atau hanya generasi pemalsu sukses?

“Pendidikan sejati bukan dimulai dari skor ujian semata. Ia tumbuh dari meja makan yang penuh diskusi, dari pelukan yang memberi rasa aman, dan dari keberanian untuk mengakui—bahwa gagal itu manusiawi, dan curang itu tidak. Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh algoritma seleksi perguruan tinggi. Ia ditentukan oleh karakter anak-anak yang kita besarkan hari ini—dan siapa yang berani menjadi orang tua sungguhan di zaman yang serba instan ini,” tutup Dedi

(Angkasa Yudhistira)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya