Konon nama gelar itu sering dipersatukan dengan nama garbhopatinya Dyah Hayam Wuruk. Penggabungan nama abhiseka dengan nama garbhopati adalah peristiwa biasa dalam masyarakat Majapahit, bahkan juga dalam masyarakat Jawa hingga zaman sekarang.
Pada Kakawin Nagarakretagama pupuh 1/4 menyatakan dengan tegas Dyah Hayam Wuruk lahir pada tahun saka 1256 atau sama dengan 1334 Masehi. Ia hanya mempunyai seorang saudara perempuan dikenal sebagai Bhre Pajang. Bhre Pajang kawin dengan Raden Sumana, Bhatara di Paguhan, yang mengambil nama abhiseka Singawardhana.
Sebagai raja juga disebut Hyang Wekasing Suka. Gelar atau nama tambahan itu dengan sendirinya tidak pernah tercantum dalam prasasti. Hanya gelar Hyang Wekasing Suka' pernah satu kali disebut pada suatu prasasti yang diperbarui oleh Sri Wikramawardhana sepeninggal Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk.
Dyah Hayam Wuruk telah dinobatkan sebagai yuwaraja di Kahuripan waktu masih kanak- kanak dan diberi nama abhiseka Sri Rajasanagara. Baru setelah mendaki usia dewasa 16 atau 17 Hayam Wuruk resmi dinobatkan sebagai raja di Majapahit menggantikan ibunya.
Pentabalan atau pelantikan Hayam Wuruk berlangsung kira-kira pada pertengahan 1351. Mengingat pada 27 April 1351 Tribhuwanatunggadewi masih memegang kekuasaan tertinggi sebagai raja Majapahit seperti dinyatakan pada prasasti Singasari.
Tribhuwana Tunggadewi masih tetap menjadi penasihat utamanya ketika Hayam Wuruk memegang pimpinan pemerintahan, karena prasasti Bendasari (OJO LXXXV) menyatakan bahwa Dyah Hayam Wuruk diiringkan oleh Tribhuwanatunggadewi ketika mengeluarkan perintah untuk membuat jaya song demi kepentingan Ki Panji Sarana.
(Arief Setyadi )