JAKARTA – Kamboja menggelar latihan militer gabungan terbesarnya dengan China, yang menandai perubahan sikap negara Asia Tenggara itu. Latihan militer China dan Kamboja terbaru ini menampilkan aset militer China yang canggih, termasuk artileri, kapal perang, dan bahkan anjing tempur robotik.
Kamboja negara strategis di Kawasan, kini memperdalam hubungannya dengan Beijing yang ditandai dengan keterlibatan militer dan ekonomi. Aliansi lama Kamboja dengan China ini, yang telah diperkuat oleh investasi besar senilai miliaran dolar, membuat Amerika Serikat (AS) cemas.
Washington telah menyatakan kekhawatiran atas pengaruh Beijing yang semakin besar, khususnya mengenai pangkalan angkatan laut Kamboja yang baru saja direnovasi di Teluk Thailand, yang menurut AS dapat melayani ambisi strategis China di kawasan tersebut. Kecenderungan Kamboja terhadap China menimbulkan pertanyaan tentang postur geopolitiknya yang terus berkembang dan implikasi yang lebih luas bagi Asia Tenggara.
Angkatan Bersenjata Kerajaan Kamboja (RCAF) mengumumkan bahwa hampir 900 personel militer China dan lebih dari 1.300 tentara Kamboja berpartisipasi dalam latihan gabungan. Acara tahunan ini bertujuan untuk memperkuat hubungan militer bilateral dan meningkatkan kerja sama antara kedua pasukan.
Latihan ini memamerkan peralatan militer canggih China, termasuk kendaraan lapis baja, helikopter, kapal perang, pesawat nirawak pengintai, dan anjing tempur robotic, demikian dilansir The Hong Kong Post, Rabu, (11/6/2025).
Juru bicara RCAF Thong Solimo mengatakan kepada AFP bahwa latihan tahun ini melampaui iterasi sebelumnya baik dalam skala maupun kecanggihan, yang menyoroti kolaborasi pertahanan Kamboja yang semakin mendalam dengan China. Latihan yang diperluas mencerminkan dinamika regional yang berkembang dan keterlibatan militer strategis di Asia Tenggara.
Sebuah kapal angkatan laut China, Changbai Shan, dilaporkan tiba di Pangkalan Angkatan Laut Ream di Beijing yang telah direnovasi di Kamboja, membawa peralatan militer yang ditujukan untuk latihan bersama.
Para pengamat telah mencatat bahwa China bertujuan untuk menegaskan kehadiran militernya dan memperkuat statusnya sebagai kekuatan global melalui latihan Golden Dragon. Analis menyarankan bahwa selain menunjukkan kekuatan, China berupaya untuk meningkatkan pengaruh regionalnya dan menumbuhkan kepercayaan di antara para mitranya dengan memamerkan kemampuan militernya yang terus berkembang, kemajuan teknologi, dan pertumbuhan strategis.
Selain itu, Kamboja diperkirakan akan menerima dua kapal perang dari China, yang akan semakin memperkuat kerja sama pertahanannya dengan Beijing.
Latihan Golden Dragon, yang pertama kali dilakukan pada 2016, menandai perubahan signifikan dalam aliansi militer Kamboja. Pada 2017, negara tersebut menghentikan latihan militer gabungannya dengan AS, yang dikenal sebagai Angkor Sentinel, yang telah diadakan selama tujuh tahun berturut-turut. Waktu pelaksanaan latihan ini sejalan dengan kunjungan Presiden China Xi Jinping baru-baru ini ke Kamboja pada April, sebuah upaya yang bertujuan untuk memperkuat hubungan diplomatik dan militer antara kedua negara.
Pengaruh China yang semakin besar telah menyebabkan beberapa pakar strategis menilai kembali komitmen Kamboja terhadap hukum internasional dan multilateralisme, yang pernah dianggap sebagai inti dari kebijakan luar negerinya yang independen dan berbasis aturan.
Analis sebelumnya mengagumi sikap netral Kamboja sebagai ketua ASEAN pada 2022, khususnya dalam menavigasi tantangan internal blok tersebut selama tahun yang sulit. Selain itu, sejak Februari 2022, Kamboja telah mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menentang pelanggaran kedaulatan negara dan agresi militer. Meskipun China mendukung Rusia, Kamboja mengambil posisi penting dengan menolak perang di Ukraina, meskipun memiliki hubungan historis dengan Rusia.
Namun, kemampuan Kamboja untuk melawan pengaruh China semakin dibatasi oleh realitas geopolitik dan ekonomi. Kamboja tetap berpihak pada Beijing, mendukung kebijakan "Satu China" dan memainkan peran aktif dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China. Khususnya, Kamboja telah menghambat upaya ASEAN untuk melawan klaim teritorial China di Laut Cina Selatan, yang semakin menggarisbawahi keselarasan strategisnya dengan Beijing. Tren ini menunjukkan kebijakan luar negeri Kamboja bergeser ke arah penguatan yang lebih dalam dalam kerangka geopolitik China.
Pengaruh ekonomi dan geopolitik China paling terasa di Kamboja, di mana ia berdiri sebagai investor asing terbesar. Miliaran dolar telah mengalir ke infrastruktur, membentuk jalan, jembatan, pelabuhan, dan lanskap real estat Kamboja. Namun, investasi-investasi ini sering kali disertai dengan persyaratan yang memperdalam ketergantungan Kamboja pada Beijing.
Sebagian besar utang luar negeri Kamboja, lebih dari 35%, berasal dari China, yang membatasi otonomi keuangannya dan memberi Beijing pengaruh atas keputusan-keputusan penting. Ketergantungan ini telah meluas melampaui ekonomi ke ranah politik, dengan Kamboja secara konsisten menyelaraskan dirinya dengan agenda kebijakan luar negeri China. Keterikatan yang semakin meningkat menggarisbawahi bagaimana pengaruh ekonomi diterjemahkan menjadi kendali strategis, yang memperkuat peran dominan China di kawasan tersebut. Posisi Kamboja mengungkap pergeseran geopolitik yang lebih luas yang terjadi di seluruh Asia Tenggara.
China telah memainkan peran penting dalam mendukung kepemimpinan Kamboja, khususnya selama tindakan keras pada 2017 terhadap Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) yang beroposisi. Sementara negara-negara Barat mengutuk tindakan tersebut, Beijing memberikan dukungan diplomatik dan bantuan keuangan, yang memastikan dominasi Perdana Menteri Hun Sen saat itu. Menanggapi sanksi Barat atas masalah hak asasi manusia, China menawarkan investasi dan pinjaman tambahan, yang memperkuat pengaruhnya. Dukungan politik dan ekonomi ini semakin memperkuat hubungan militer antara Beijing dan Phnom Penh, memperdalam ketergantungan Kamboja pada China, dan memperkuat penyelarasan strategisnya dalam urusan regional.
Pakar strategi regional semakin khawatir tentang perluasan kerja sama militer China, dengan Pangkalan Angkatan Laut Ream sebagai contoh utama. Beijing diam-diam telah membiayai peningkatan tersebut, yang memicu spekulasi bahwa negara itu berupaya membangun pijakan militer asing pertamanya di Asia Tenggara. Kamboja secara resmi membantah niat tersebut, namun citra satelit dan laporan investigasi menunjukkan keterlibatan China yang substansial dalam desain dan pembangunan pangkalan tersebut, yang memperkuat kecurigaan adanya kerja sama militer yang lebih dalam.
(Rahman Asmardika)