DENPASAR – Dalam perhelatan Culture, Heritage, Art, Narrative, Diplomacy, and Innovation (CHANDI) 2025 yang digelar di Bali pada 3-5 September 2025 dilaksanakan beberapa diskusi panel sebagai bagian dari rangkaian kegiatan.
Sesi panel 3 mengangkat tajuk “Financing the Future of Culture: Unlocking Investment for Preservation and Innovation”. Diskusi ini dipandu oleh Ketua Indonesian Heritage Trust Catrini Pratihari Kubontubuh, dan menghadirkan tokoh-tokoh lintas disiplin yang mempertemukan perspektif ekonomi, komunitas, dan kebijakan.
Dalam diskusi panel ini menghadirkan dua panelis yaitu Donovan Rypkema, Presiden Heritage Strategies International; dan Hasti Tarekat Dipowijoyo, pendiri Heritage Hands-on di Amsterdam sekaligus Co-Chair Asian Network for Industrial Heritage.
Donovan Rypkema menegaskan bahwa konservasi dan pembangunan ekonomi bukanlah pilihan yang saling bertentangan. Ia memaparkan bagaimana insentif fiskal, regulasi yang tepat, serta konsep adaptive reuse mampu menjadikan warisan budaya sebagai motor pembangunan berkelanjutan.
“Sticks (regulasi) bisa mencegah penghancuran bangunan bersejarah, tetapi hanya carrots (insentitf) yang mampu mendorong reinvestasi,” ucapnya.
Sementara itu, Hasti Tarekat Dipowijoyo membawa contoh konkret dari proyek De Hallen Amsterdam. Kompleks bekas depo trem yang terbengkalai diubah menjadi ruang publik multifungsi melalui model koperasi dan pembiayaan berkelanjutan. Hasti menekankan bahwa pendekatan semacam ini relevan untuk Indonesia yang juga memiliki banyak warisan industri.
“Jika Amsterdam bisa menghidupkan kembali sebuah depo trem menjadi pusat budaya tanpa subsidi operasional, Indonesia pun bisa melakukan hal serupa dengan mengandalkan kekuatan komunitas dan manajemen yang transparan,” katanya.
Sesi panel ini juga menampilkan dua pemakalah terpilih dari seleksi abstrak CHANDI 2025. Ahmad Saifudin Mutaqi dari Universitas Islam Indonesia memaparkan risetnya tentang crowdsourcing dan pendanaan partisipatif, dengan studi kasus pelestarian Candi Kimpulan.
Ia menekankan bahwa keterlibatan masyarakat melalui teknologi digital tidak hanya menyediakan sumber dana alternatif, tetapi juga memperluas partisipasi dan membangun rasa kepemilikan bersama.
“Kekuatan komunitas bisa menjadi tumpuan. Dengan teknologi digital, masyarakat dapat berperan langsung dalam pelestarian warisan budaya,” ujarnya.
Dari perspektif lain, Sultan Prasasti dari Maastricht University mengulas model insentif pajak dan integrasi dengan Dana Indonesiana untuk mendukung pelestarian musik klasik Indonesia. Ia mengacu pada praktik di Singapura, Australia, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, lalu menarik pelajaran yang bisa diterapkan di Indonesia.
Menurutnya, super-deduksi pajak, program cultural gift, serta skema matching fund terbukti mampu memperluas basis donor dan mendukung keberlanjutan pendanaan. “Musik klasik adalah aset budaya, tapi tanpa dukungan dana, ia akan memudar,” tuturnya.
Diskusi berlangsung dinamis dengan pertukaran gagasan antara pakar internasional, praktisi, dan peneliti muda. Tidak hanya berbicara mengenai pelestarian, para panelis juga menggarisbawahi pentingnya inovasi agar budaya tetap relevan dengan generasi kini. Kombinasi antara kekuatan komunitas, dukungan fiskal, model koperasi, serta dana abadi kebudayaan dipandang sebagai kunci untuk membangun ekosistem pembiayaan budaya yang tangguh.
Dalam penyampaian kesimpulannya, Catrini menekankan bahwa konservasi bukan hanya tentang menjaga masa lalu, melainkan juga menata masa depan. Ia menyoroti pentingnya peran multipihak: pemerintah dengan regulasi dan fasilitasi, komunitas dengan partisipasi aktif, serta sektor swasta dengan dukungan investasi.
“Biasanya kita berbicara tentang warisan budaya secara kualitatif. Namun dari Donovan kita belajar berbicara secara kuantitatif, mengukur dan menghitung aspek ekonomi dari pelestarian. Inilah yang membuat diskusi panel ketiga ini sangat berharga,” ujarnya.
Panel ini mengingatkan bahwa konservasi harus dipandang sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas, terintegrasi dengan alam, lanskap budaya, dan aktivitas masyarakat. Penekanan pada pendidikan, pengetahuan, informasi, serta komunikasi menjadi fondasi kesadaran baru dalam pelestarian. Perspektif generasi muda dan penerapan teknologi digital juga dianggap penting untuk memperluas dampak konservasi di masa depan.
(Agustina Wulandari )