JAKARTA – Pendiri Haidar Alwi Institute, R Haidar Alwi menegaskan, bahwa reformasi Polri sejatinya telah mencapai titik sejarah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Aturan tersebut menempatkan Polri langsung di bawah Presiden sehingga memutus rantai subordinasi militer dan menegakkan prinsip independensi.
“Karena itu istilah restorasi jauh lebih tepat. Restorasi berarti mengembalikan Polri pada jati diri yang sesungguhnya: aparat negara yang berani, bersih, dan humanis,” kata Haidar, Rabu (17/9/2025).
Ia menjelaskan, restorasi bukan merombak total, melainkan merenovasi tanpa menggoyahkan pilar, memperbaiki kelemahan tanpa meruntuhkan struktur, serta menegakkan kembali nilai-nilai luhur yang menjadi dasar reformasi sejak 1999.
Haidar menyoroti munculnya tuntutan “reformasi Polri” setiap kali ada kasus yang melibatkan oknum anggota. Pola itu sudah terjadi berulang, mulai dari kasus Mesuji (2011), kriminalisasi pimpinan KPK (2015), kasus Ferdy Sambo (2022), polemik penguntitan Jampidsus (2024), hingga kerusuhan Agustus 2025.
“Jika dicermati, polanya mudah ditebak. Satu kasus individu dijadikan pintu masuk untuk menggiring isu kelembagaan. Satu pelanggaran segera dibesar-besarkan menjadi kegagalan sistem. Seolah-olah seluruh reformasi yang telah dilakukan sejak 1999 tidak pernah ada,” ujarnya.
Menurut Haidar, pola narasi tersebut berbahaya karena membentuk persepsi bahwa Polri adalah institusi cacat. Padahal, yang sebenarnya terjadi hanyalah upaya sistematis untuk menggerus kepercayaan publik sekaligus menguji keteguhan negara.
“Bila negara selalu menuruti tuntutan itu setiap kali ada kasus, sama saja negara rela melelang kewibawaannya. Bagaimana mungkin bangsa besar ini dikendalikan oleh riak-riak opini yang dipicu kejadian individu?” tegasnya.
Ia menegaskan, negara tidak boleh terjebak dalam siklus kelemahan di mana setiap persoalan kecil dijawab dengan wacana besar yang justru mempreteli institusi penopang keamanan nasional.
“Sudah saatnya kita bertanya pada hati nurani: apakah kita akan maju dengan memperkuat apa yang sudah benar, atau justru mundur dengan mengulangi kesalahan yang sama?” pungkasnya.
(Awaludin)