JAKARTA – Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri mengungkap, sejumlah aset yang disita terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan PT Sarana Pembangunan Riau (SPR), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola proyek Blok Migas Langgak pada periode 2010–2015.
Wadir Penindakan Kortas Tipidkor Polri, Kombes Bhakti Eri Nurmansyah, menyebutkan bahwa aset yang disita berupa uang tunai, tanah, bangunan, dan kendaraan mewah.
“Pertama, penyitaan uang dengan jumlah total sebesar Rp5.443.407.144. Kedua, tindakan pemblokiran terhadap 12 aset tidak bergerak dan aset bergerak milik tersangka dan/atau keluarga yang ditaksir totalnya mencapai Rp50 miliar,” ujar Bhakti dalam konferensi pers di Gedung Kortas Tipidkor, Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
Aset tidak bergerak yang disita antara lain:
- Tanah atas nama Rahman Akil seluas 3.800 meter persegi di Kecamatan Cigombong, Kelurahan Tugujaya, Kabupaten Bogor.
- Tanah atas nama Rahman Akil seluas 375 meter persegi di Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
- Tanah seluas 135 meter persegi di Kecamatan Ciputat, Jakarta Selatan.
- Tanah atas nama Debby Riauma Sary seluas 167 meter persegi di Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.
- Tanah atas nama Debby Riauma Sary seluas 415 meter persegi di Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru, Riau.
Untuk aset bergerak, penyidik menyita beberapa kendaraan, antara lain:
- Mobil Volkswagen Tiguan Allspace tahun 2021 atas nama Raihan Alivio Akil.
- Mobil listrik BYD Shield Performance tahun 2024.
- Mobil Toyota Fortuner VRZ tahun 2016 (dua unit).
- Sepeda motor Honda tahun 2019.
Bhakti menjelaskan, seluruh aset tersebut merupakan barang bukti dari kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan perusahaan untuk kepentingan pribadi.
“Kami masih akan mengembangkan penyidikan ini untuk menelusuri lebih jauh aliran dana hasil korupsi tersebut,” tambahnya.
Kasus ini bermula ketika PT SPR—yang merupakan BUMD milik Pemerintah Provinsi Riau—berubah bentuk dari perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas (PT). Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 12 Mei 2010, Rahman Akil diangkat sebagai Direktur Utama, sedangkan Debby Riauma sebagai Direktur Keuangan PT SPR.
Pada 15 Oktober 2009, PT SPR mendirikan anak perusahaan bernama PT SPR Langgak, yang bergerak di bidang pertambangan di Blok Langgak, Cekungan Sumatera Tengah, Provinsi Riau.
Selanjutnya, pada 25 November 2009, Ditjen Migas Kementerian ESDM menerbitkan surat penawaran langsung hasil kerja Blok Langgak kepada PT SPR dan Kingswood Capital Ltd (KCL). Konsorsium keduanya ditetapkan sebagai pemenang penawaran untuk mengelola wilayah kerja Langgak.
Kontrak kerja sama (Production Sharing Contract/PSC) kemudian ditandatangani antara BP Migas, PT SPR, dan PT KCL, berlaku efektif sejak April 2010 hingga 2030.
Dalam kasus ini, Rahman Akil dan Debby Riauma diduga melakukan penyalahgunaan keuangan perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG), mengakibatkan kerugian bagi PT SPR.
Pelanggaran yang dilakukan antara lain:
- Pengeluaran keuangan tanpa dasar yang jelas dan tidak transparan.
- Pengadaan tanpa analisis kebutuhan yang akurat.
- Kesalahan pencatatan produksi (overlifting) yang merugikan perusahaan.
- Tidak menerapkan tata kelola, perencanaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban keuangan yang baik.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(Awaludin)