Mesin utama pencipta lapangan kerja formal kita, yaitu industri manufaktur, terus terpukul dalam dua dekade terakhir. Menutup tahun 2024 lalu, kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional sebesar 18,9%. Angka ini mencerminkan tren penurunan jangka panjang sejak awal 2000-an ketika peran sektor ini jauh lebih tinggi (saat itu kontribusi manufaktur terhadap PDB di kisaran 24%).
Sementara dari sisi tenaga kerja, pangsa pekerja manufaktur terhadap total pekerja hanya sekitar 13,83%. Angka ini terbilang kecil, dan sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya struktur pasar tenaga kerja kita.
Hal inilah yang menjelaskan kenapa tampak begitu banyak orang bekerja, tetapi tidak pernah bisa untuk naik kelas. Asbabnya, tanpa ditopang struktur industri yang kokoh, penyerapan tenaga kerja hanya lari pada sektor-sektor dengan produktivitas rendah dengan upah rendah pula.
Bahkan, per Februari 2025 lalu, lonjakan penyerapan terbesar ada di perdagangan eceran, yang meskipun sektor ini penting, tetapi rata-rata produktivitas serta tingkat formalitasnya terhitung kecil.
Contoh paling gamblang adalah industri tekstil dan garmen, yang selama ini menjadi lokomotif bagi banyak pekerja perempuan dan pemuda. Sejak 2023-2024, sektor ini terpukul akibat pelemahan permintaan global ditambah gempuran banjir impor.
Sektor ini sempat mendapat perhatian serius dari pemerintah, yang kemudian diikuti upaya penyelamatan Sritex karena efek sistemiknya terhadap puluhan ribu pekerja di rantai pasok. Pemerintah menyadari bahwa terpukulnya manufaktur padat karya akan berdampak langsung pada kualitas kerja nasional: lebih banyak yang terdorong pada informalitas atau kerja paruh waktu.
Walau terlihat suram, berita baiknya adalah hilirisasi komoditas yang kini menjadi prioritas pemerintah telah berhasil membawa investasi besar, terutama nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV). Meski tantangannya adalah industri nikel kita masih didominasi proses yang sangat padat modal dan belum optimal memberikan nilai tambah ke rantai pasok lanjutan.
Sebagai gambaran, Indonesia kini memasok sekitar 61% nikel olahan secara global (2024) dan berpotensi naik hingga 74% pada 2028 mendatang. Posisi strategis ini harus diterjemahkan menjadi lompatan kesempatan kerja melalui pendalaman ekonomi melalui industrialisasi.